Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) siap menyelesaikan konsep Rancangan Undang Undang (RUU) Pertanahan. RUU inisiatif DPR ini juga telah di serahkan kepada Presiden, agar selanjutnya, diterbitkan Amanat Presiden (Ampres) dan menugaskan menteri sebagai wakil pemerintah, untuk membahas RUU Pertanahan di DPR.
DPR mengklaim inisiatif ini untuk melaksanakan Ketetapan MPR Nomor 9/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang hingga kini belum dijalankan oleh pemerintah.
UU Pertanahan ini akan menjadi pelengkap Undang Undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Anggota Komisi II DPR Gamari Sutrisno menjelaskan, kehadiran UU Pertanahan bukan untuk UU Agraria. UU ini untuk melindungi masyarakat dalam sengketa tanah yang selama ini selalu mengutamakan kepentingan bisnis ketimbang rakyat.
Ada beberapa poin krusial dalam draf RUU Pertanahan (lihat infografis). Misalnya, mengatur pembatasan kepemilikan luas lahan dan jangka waktu pemanfaatan.
Tujuan pembatasan agar terjadi keseimbangan ke pemilikan lahan antara rakyat dan pengusaha. "Dulu berapapun luas yang diinginkan pengusaha akan diberikan termasuk jangka waktunya," kata Gamari kepada KONTAN, Selasa (30/4).
Hanya saja, soal batasan luas lahan dan berapa lama pengusaha dibolehkan menguasai lahan, ia enggan memberi bocoran. Yang pasti target DPR, setelah UU Pertanahan disahkan maka seluruh peraturan yang menyangkut kepemilikan lahan di sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan batal demi hukum. "Jadi harus menyesuaikan dengan undang-undang baru," tandasnya.
Noor Marzuki, Direktur Pengaturan dan Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah Badan Pertanahan Nasional (BPN) mendukung inisiatif DPR menyusun RUU Pertanahan. Sebab, UU No. 5/1960 tidak mengatur perihal hak atas tanah dan penyelesaian sengketa pertanahan.
BPN menyatakan sudah berupaya maksimal menjadi mediator sengketa tanah. Bila ada wacana menghadirkan pengadilan khusus kasus tanah maka penanganan bisa lebih baik lagi. "Dulu pengadilan agraria pernah ada, dan jika ingin dihidupkan lagi kenapa tidak," ujarnya.
Sebelumnya aktivis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Idham Arsyad mempertanyakan motif DPR untuk mengusulkan UU Pertanahan. Idham khawatir UU ini malah menyebabkan tumpang tindih dengan UU Agraria.
Karena itu ia meminta masyarakat terus mengawasi proses pembahasan UU agar tidak merugikan rakyat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News