Reporter: Margareta Engge Kharismawati, Asep Munazat Zatnika, Anna Suci Perwitasari |
JAKARTA. Ibarat panas setahun dibalas hujan sehari. Pasar keuangan senang merespon kebijakan moneter baru ala Bank Indonesia (BI).
Kemarin, BI menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan ekstra dan mengambil beberapa keputusan penting. Mulai dari menaikkan bunga acuan atau BI rate sebesar 50 basis poin (bps) dari 6,5% menjadi 7%, menaikkan bunga deposit facility (DF) sebesar 50 bps menjadi 5,25% dan lending facility (LF) sebesar 25 bps menjadi 7% (lihat tabel).
BI juga menyerap likuiditas di pasar dengan merilis instrumen moneter baru, bernama Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI). Tenor instrumen ini satu bulan dan tiga bulan.
Nah, dari target sebesar Rp 2,5 triliun, penawaran yang masuk mencapai Rp 8,56 triliun. BI akhirnya menyedot dana Rp 4,98 triliun.
Di antara sekian langkah BI, keputusan bank sentral memperbarui perjanjian fasilitas pertukaran mata uang asing alias bilateral swap arrangement (BSA) dengan Jepang senilai US$ 12 miliar, juga menaikkan mental pasar keuangan lokal. Dengan fasilitas ini, BI bisa menarik fasilitas bantuan keuangan jangka pendek tatkala pasar finansial kembali dibombardir spekulan.
Tak heran, pasar keuangan tampak menyambut positif kebijakan ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 1,9% ke level 4.103,59 poin. Rupiah juga menguat 3% ke level 10.935 per dollar AS dibandingkan dengan level terendah kemarin yakni
Rp 11.287 per dollar AS.
Langkah BI ini juga mengerem keluarnya dana asing dari pasar saham. Kemarin, dana asing memang masih keluar sekitar Rp 81 miliar dari pasar saham. Namun nilainya lebih rendah ketimbang sehari sebelumnya yang mencapai sekitar Rp 1 triliun.
BI memang tampak agresif menaikkan bunga. Dua bulan terakhir, BI rate sudah naik 125 bps. Karena itu, Ekonom Bank Danamon, Dian Ayu Yustina dan Anton Gunawan, dalam analisisnya yang terbit kemarin, menyatakan, kenaikan BI rate ini sudah cukup untuk sementara waktu.
Mereka juga mengingatkan, Indonesia masih harus berhati-hati menghadapi tekanan berikutnya. Yakni, saat bank sentral Amerika Serikat mulai menghentikan kebijakan quantitative easing pada 17 September 2013.
Masalah lain yang harus diwaspadai, kenaikan BI rate akan menaikkan bunga kredit. Dunia usaha bisa lesu karena kekurangan dana. Ekonomi pun berpotensi melambat.
Ini memang putusan dilematis. Langkah BI ini baru menyenangkan pasar finansial. "BI memang harus memilih antara stabilitas makro atau pertumbuhan sektor riil," kata Juniman, Kepala Ekonom Bank Internasional Indonesia (BII). Kini yang harus dipikirkan adalah memberi stimulus tambahan bagi sektor riil. n
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News