Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Harap-harap cemas kondisi utang luar negeri (ULN) Indonesia, khususnya swasta, menjadi perhatian semua otoritas termasuk pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengganggap Debt Equity Ratio (DER) adalah instrumen kebijakan yang paling efektif untuk mengerem ULN swasta.
Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, hingga sekarang ini DER menjadi aturan yang paling jelas. Aturan ini sedang dalam studi yang saat ini dilakukan Kemkeu.
Dulu aturan DER sempat dikeluarkan pemerintah sekitar tahun 2000 dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Namun aturan tersebut hanya bertahan seminggu karena menuai protes dari berbagai kalangan pengusaha.
Waktu itu aturan DER alias utang berdasarkan modalnya adalah 3:1. Artinya utang swasta hanya boleh tiga kali dari modal.
Menurut Bambang, DER akan dibuat lebih fleksibel yaitu berbeda tiap sektornya dan variasi angka rasionya. Misalnya, untuk perbankan. Perbankan perlu dibuat lebih tinggi rasionya dan tidak cukup 3:1. "Karena sektornya itu meminjam dari orang lalu pinjamkan lagi ke orang lain," ujar Bambang, Rabu (16/7).
Dirinya menegaskan, kalau ada DER maka utang korporasi tidak akan membengkak seperti sekarang ini. Asal tahu, data terakhir ULN pada bulan April mencapai US$ 276,59 miliar atau tumbuh 7,6% dibanding posisi bulan sebelumnya.
ULN swasta sendiri tercatat US$ 145,63 miliar. Rasio utang terhadap PDB pun pada triwulan I mencapai 32,35%. Sedangkan rasio utang terhadap ekspor pun sudah mencapai 128,41%.
Menteri Keuangan Chatib Basri sendiri menambahkan, hingga sekarang ini pihaknya dan BI masih terus mencari formula untuk mengerem utang. Perbandingan dengan negara lain seperti Singapura dan Korea dalam hal rasio utang menjadi studi yang saat ini sedang dipelajari.
Pilihan yang tidak mungkin diambil pemerintah dan BI adalah korporasi yang ingin berutang harus datang ke pemerintah atau BI untuk meminta ijin. Proses yang panjang menjadi alasan untuk tidak mengambil opsi tersebut.
Berbagai opsi dibuka untuk meredam risiko utang swasta. Salah satunya, menurut Chatib, adalah perusahaan yang berutang ketika 90 hari sebelum utang dibayar sudah harus mempunyai dolarnya. "Sehingga ini tidak mempengaruhi permintaan dari pasar," tandas Chatib.
Sebagai informasi, saat ini antar instansi pemerintah dan BI sedang membahas hedging atawa lindung nilai dalam tim teknis. Korporasi terutama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dihimbau untuk melakukan hedging. Hedging akan dianggap sebagai kegiatan yang tidak merugikan negara.
Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara sebelumnya menjelaskan kalau dalam rapat tim teknis yang telah dilakukan antar instansi pemerintah dan BI masih berkutat pada penyamaan persepsi mengenai hedging. Berbagai rapat tim teknis selanjutnya akan terus dilakukan untuk bisa merumuskan aturan hedging.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News