kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kemendag: Konsumen Indonesia beli gula lebih mahal dibandingkan konsumen global


Selasa, 24 November 2020 / 13:52 WIB
Kemendag: Konsumen Indonesia beli gula lebih mahal dibandingkan konsumen global
ILUSTRASI. Kemendag menyebutkan, konsumen Indonesia membeli gula dengan harga lebih mahal dibandingkan konsumen global.


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebut konsumen Indonesia membeli gula dengan harga lebih tinggi dibandingkan konsumen global.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Didi Sumedi menjelaskan, hal ini melihat perbedaan rata-rata harga gula eceran di domestik yang lebih tinggi, dimana selama tahun 2019-2020, perbedaan harga gula eceran di domestik dengan harga paritas impor sebesar 28,1%.

"Artinya, konsumen di dalam negeri membeli gula lebih mahal 28,1% dibandingkan harga yang dinikmati oleh masyrakat umum di global," ujar Didi dalam acara National Sugar Summit 2020, Selasa (24/11).

Didi pun menyebutkan penyebab tingginya harga gula domestik. Menurutnya, ada beberapa persoalan persoalan yang menyebabkan hal ini.

Baca Juga: Petani tebu khawatirkan potensi banjir impor gula, ini sebabnya

Pertama, biaya pokok produksi (BPP) gula di dalam negeri yang masih lebih tinggi dibandingkan harga gula internasional.

"Selama tahun 2020, BPP diperkirakan mencapai Rp 9.857 per kilogram, sementara harga white sugar internasional di 2020 selama Januari-Oktober itu rata-rata hanya Rp 5.465 per kg. Sehingga terdapat diferensi harga yang cukup tajam antara gula lokal dan internasional," jelas Didi.

Kedua, produktivitas di dalam negeri masih rendah. Didi mengatakan, rata-rata produksi gula Indonesia masih berkisar 5 ton per tahun, sementara dengan biaya produksi yang relatif sama, produktivitas negara lain seperti Thailand dan India memiliki rata-rata sebesar 9 ton per tahun.

Ketiga, biaya sewa lahan di Indonesia, khususnya di Jawa, semakin lama semakin tinggi.

"Sewa lahan memberikan kontribusi sekitar 38%-40% terhadap komponen BPP gula itu sendiri," jelas Didi.

Tak hanya itu, ada juga persoalan kualitas gula dari luar negeri yang lebih baik dari gula Indonesia. Dimana, rendemen Indonesia masih lebih rendah atau rata-rata 6,8% hingga 7%, sementara rendemen di luar negeri yang direkomendasikan sebesar 9%.

Lalu, alasan lainnya adalah subsidi pemerintah terhadap petani tebu di dalam negeri masih belum optimal. Karenanya, subsidi input seperti pupuk, mekanisasi  dan kredit sewa lahan perlu ditingkatkan agar petani tebu tetap sejahtera.

Didi mengatakan, sampai saat ini konsumsi gula di Indonesia belum ditopang secara penuh oleh industri gula di dalam negeri, sehingga Indonesia menjadi salah satu importir gula terbesar di dunia. Karenanya, dia  berharap ketergantungan Indonesia terhadap impor gula tidak semakin besar dan harus ditangani secara strategis khususnya dengan meningkatkan produktivitas gula nasional.

Selanjutnya: Luas lahan usaha perkebunan dibatasi, ini penjelasan Kementan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×