kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.901.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.541   37,00   0,22%
  • IDX 7.538   53,43   0,71%
  • KOMPAS100 1.059   10,21   0,97%
  • LQ45 797   6,35   0,80%
  • ISSI 256   2,43   0,96%
  • IDX30 412   3,30   0,81%
  • IDXHIDIV20 468   1,72   0,37%
  • IDX80 120   1,05   0,88%
  • IDXV30 122   -0,41   -0,34%
  • IDXQ30 131   0,79   0,61%

Kebijakan Dagang Pro-AS Bisa Rugikan Hubungan Dagang RI dengan Negara Lain


Jumat, 01 Agustus 2025 / 16:57 WIB
Kebijakan Dagang Pro-AS Bisa Rugikan Hubungan Dagang RI dengan Negara Lain
ILUSTRASI. Suasana bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (16/7). Pemerintah Indonesia diminta lebih tegas dalam menghadapi kebijakan dagang AS yang dinilai berisiko merugikan posisi Indonesia.


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah Indonesia diminta bersikap lebih tegas dalam menghadapi kebijakan dagang Amerika Serikat (AS) yang dinilai berisiko merugikan posisi Indonesia dalam perdagangan global.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Ekonomi Internasional (International Economic Association/IEA), Lili Yan Ing, menyoroti potensi dampak negatif dari pendekatan kebijakan perdagangan Indonesia yang terlalu pro-AS.

Menurutnya, langkah tersebut dapat menciptakan preseden buruk bagi hubungan Indonesia dengan mitra dagang negara lain.

Baca Juga: Perang Dagang dengan AS Memanas, China Beralih ke Negara-Negara Ini

“Perlu diingat bahwa yang Indonesia tawarkan sekarang adalah menjadi precedent yang sangat buruk. Bahwa Indonesia tawarkan kepada Amerika Serikat itu akan dipertanyakan oleh trading partners Indonesia. Mengapa Indonesia hanya menawarkan kepada Amerika Serikat, tidak kepada yang lainnya," ujar Lili dalam forum diskusi publik.

Lili menyebut, saat ini Indonesia dihadapkan pada kemungkinan penerapan tarif tinggi oleh AS, yang berpotensi mengganggu kinerja ekspor nasional.

Ia pun mempertanyakan kesiapan tim negosiasi pemerintah Indonesia dalam menghadapi langkah sepihak AS yang cenderung melanggar prinsip perdagangan multilateral.

“Apakah Indonesia juga terkena 25% untuk produk garment, footwear, auto parts? Bagaimana dengan tarif 40% untuk transhipment, 50% untuk produk strategis seperti semikonduktor dan farmasi? Bahkan 10% karena Indonesia anggota BRICS?” kata Lili.

Baca Juga: Ini 3 Permintaan AS agar Tarif Impor 32% Indonesia Dihapus

Ia menegaskan, jika kebijakan tarif tersebut diterapkan terhadap Indonesia, maka itu menciderai prinsip most favored nation (MFN) yang menjadi dasar sistem perdagangan multilateral di bawah naungan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Lili juga menyinggung bentuk kerja sama yang saat ini tengah dijajaki Indonesia dengan AS.

Menurutnya, pemerintah perlu lebih transparan dalam menyampaikan substansi kerja sama yang bersifat transaksional, seperti pembelian pesawat Boeing serta transaksi energi dan produk pertanian.

“Perlu dipertanyakan apakah ini hanya listed yang Indonesia tawarkan,” kata Lili. 

Ia juga menyebut kebijakan tarif yang diberlakukan pada masa kepemimpinan Donald Trump sebagai bentuk politik dagang transaksional yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.

“Perlu diingat bahwa Trump adalah pebisnis. Apa yang dilakukan sangat transaksional, dan itu menguntungkan Trump, keluarga Trump dan kroni-kroninya,” tegasnya.

Baca Juga: Ini 3 Permintaan AS agar Tarif Impor 32% Indonesia Dihapus

Oleh karena itu, IEA mendesak jika AS memang ingin membangun hubungan bilateral yang sehat, maka tarif tambahan terhadap Indonesia harus dicabut, dan dialog dagang dilakukan berdasarkan prinsip saling menghormati dan hukum internasional.

Selain bersikap tegas terhadap AS, Lili juga mendorong Indonesia untuk memperkuat kemitraan strategis dengan mitra dagang utama lainnya, termasuk China melalui ASEAN-China Free Trade Area (FTA), Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), dan juga peran Indonesia sebagai anggota BRICS.

Menurutnya, Indonesia harus aktif mendorong China untuk mengurangi kelebihan kapasitas industri dan subsidi, serta meningkatkan kerja sama dalam pembangunan infrastruktur digital.

“50 tahun ke depan, core competitiveness (daya saing inti) dari suatu negara akan sangat ditentukan dari digital skills dan AI capabilities (kemampuan digital dan AI),” ucap Lili.

Baca Juga: China Sebut AS Menggunakan Fentanil untuk Memeras Tiongkok

Di sisi lain, ia menekankan bahwa reformasi domestik juga tetap harus menjadi prioritas utama bagi Indonesia. Stabilitas makroekonomi, defisit fiskal, kepastian hukum, dan iklim investasi perlu terus diperkuat untuk mendukung daya saing nasional.

Selanjutnya: Laba Bersih CIMB Niaga Finance (CNAF) Naik 27,6% pada Semester I-2025

Menarik Dibaca: Apa Jenis Nasi yang Paling Sehat ya? Intip Pembahasannya di Sini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×