Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Tekanan terhadap rupiah belum mereda, bahkan diprediksi bisa menghebat. Kondisi ini terjadi jika dana-dana panas (hot money) yang banyak ngendon di pasar finansial Indonesia serentak hengkang. Jika itu terjadi, rupiah bukan mustahil terjengkang. Ujungnya, perekonomian bisa sempoyongan.
Ini pula yang membuat Bank Indonesia (BI) terus mengutak-atik instrumen moneternya. Yang tergres, bank sentral menghidupkan kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan minimum holding period selama 28 hari.
Lewat kebijakan ini, BI tampaknya mencoba menarik dana-dana panas masuk instrumen moneter bank sentral. Pasalnya, pasca dihapuskannya SBI satu bulan dan digantikan dengan SBI enam bulan pada tahun 2011, dana asing di SBI yang semula mencapai Rp 230 triliun, perlahan menghilang. Bahkan habis sama sekali di 2012. Maklum, kebanyakan dana itu ogah berlama-lama di satu instrumen investasi, seperti SBI 6 bulan.
Difi A. Johansyah mengatakan, kebijakan BI ini bukan bertujuan untuk mengundang dana asing masuk kembali ke SBI, melainkan untuk memberi kemudahan perbankan untuk mengelola likuiditasnya. Pasalnya, investor asing yang ingin masuk ke SBI harus lewat perbankan, dan mekanismenya tidak bisa ditarik sewaktu-waktu.
Namun, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI ini mengakui bahwa saat ini, porsi dana asing di SBI sangat kecil. "Hanya 1%," ujar dia, (11/9). Kebijakan ini, kata Difi, bisa sewaktu-waktu berubah, tergantung kondisi pasar. Jika pasar sudah kembali stabil, aturan ini dapat diubah kembali menjadi enam bulan.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, saat ini, bank sentral memang tidak lagi punya banyak pilihan dalam kebijakan moneter. Termasuk dalam menyediakan likuiditas valas. Pasalnya, ekspor dan investasi langsung, melorot.
Defisit neraca transaksi berjalan juga terus membengkak. Di sisi lain BI membutuhkan devisa besar untuk membendung aliran dana asing yang akan keluar dari portofolio investasi di Indonesia.
Saat ini, aset asing di portofolio investasi Indonesia per akhir Agustus 2013 mencapai Rp 1.398 triliun, dan di surat utang negara Rp 283 triliun.
Maklum rencana kebijakan pengurangan stimulus quantitative easing (QE) atau tapering off oleh The Fed bisa membuat pemilik dana asing hengkang dari pasar keuangan Indonesia dan kembali memegang dollar AS.
Kondisi ini bisa membuat investor asing tiba-tiba kabur dari tanah air. Dalam ketidakpastian inilah, kata David, fleksibilitas dalam pengelolaan likuiditas dibutuhkan.
Namun, ketimbang di SBI, David berpendapat, lebih baik jika dana-dana asing diarahkan ke Surat Utang Negara (SUN). Pertimbangannya: SBI merupakan instrumen investasi tanpa risiko terjadi perubahan harga, sementara SUN ada risiko perubahan harga.
Sedangkan, Kepala Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) A. Prasentyantoko, melihat kebijakan BI ini lebih bertujuan memulihkan kepercayaan pasar. Namun demikian, hingga kemarin, pasar masih merespon negatif dan bukti rupiah terkulai di Rp 11.438 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News