Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan menegaskan bahwa Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan dari pemeriksaan yang melebihi batas waktu sebagaimana diatur undang-undang seharusnya dinyatakan tidak sah secara hukum.
Hal ini disampaikan Rinto dalam Seminar Nasional Pajak yang digelar di Hariston Hotel & Suites, Jakarta Utara, Selasa (27/5).
Seminar ini menjadi ajang kritik terbuka terhadap tafsir Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menyatakan bahwa SKP tetap sah meski diterbitkan dari pemeriksaan yang melewati batas waktu.
Rinto menyebut tafsir DJP tersebut sebagai preseden buruk dalam penegakan hukum perpajakan di Indonesia.
“Ketika DJP menyatakan SKP tidak bisa dibatalkan walau melewati batas waktu pemeriksaan, itu sama saja dengan mengatakan DJP boleh melanggar Undang-Undang dan PMK yang jelas-jelas mengatur hal itu. Ini preseden buruk dalam penegakan hukum perpajakan,” tegas Rinto.
Baca Juga: Ombudsman Soroti Dugaan Maladministrasi dalam Pemeriksaan Pajak
IWPI menekankan bahwa pemeriksaan pajak bukan sekadar prosedur administratif internal DJP, melainkan bagian dari proses hukum yang harus tunduk pada norma hukum prosedural dan materiil.
Rinto mengutip Pasal 31 ayat (2) UU KUP dan Pasal 15 ayat (2) PMK No. 17 Tahun 2013, yang menetapkan batas waktu maksimal enam bulan untuk pemeriksaan lapangan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini, menurutnya, merupakan cacat prosedural yang harus membatalkan produk hukum yang dihasilkan.
“Negara ini adalah negara hukum, bukan negara kinerja. Yang dijadikan tolok ukur adalah hukum, bukan target administratif. Jika kita mengabaikan aturan main, maka keadilan perpajakan tidak akan pernah tercapai,” lanjut Rinto.
Sementara itu, Ketua Umum Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I) Alessandro Rey menegaskan bahwa batas waktu pemeriksaan merupakan syarat hukum yang mengikat, bukan sekadar alat manajemen internal.
Ia merujuk Pasal 66 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan No. 30 Tahun 2014 yang menyebut bahwa keputusan administratif dapat dibatalkan apabila mengandung cacat prosedur atau pelanggaran wewenang.
“Jika SKP diterbitkan dari proses pemeriksaan yang cacat, maka produk hukumnya pun cacat. Tidak boleh ada pembenaran atas pelanggaran hukum hanya karena institusi tersebut adalah negara,” ujarnya.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, turut menegaskan bahwa pemeriksaan pajak yang melewati batas waktu merupakan bentuk maladministrasi. Menurutnya, seluruh layanan publik—termasuk pemeriksaan pajak—wajib tunduk pada regulasi dan prinsip transparansi.
“Kalau melewati batas waktu, itu maladministrasi. Regulasi itu mengikat ke dalam dan ke luar, bukan hanya untuk kinerja internal,” jelas Yeka.
Senada, Ketua Umum Perkumpulan Konsultan Pajak Indonesia (Perkoppi) Gilbert Rely, menyatakan bahwa jika undang-undang dan PMK hanya dijadikan indikator kerja pegawai tanpa perlindungan hak wajib pajak, maka substansi hukum telah diselewengkan.
“Apakah kita hanya menulis hukum untuk dibaca pegawai pajak, tapi tidak untuk melindungi warga negara? Jika begitu, kita sedang berjalan mundur dari prinsip negara hukum,” kata Gilbert.
Sebagai penutup, Rinto menyerukan kepada pemerintah dan penegak hukum agar tidak membiarkan penafsiran sepihak yang mencederai prinsip-prinsip negara hukum terus berlangsung.
IWPI mendorong reformasi perpajakan yang tidak hanya fokus pada penerimaan negara, tetapi juga menjunjung tinggi keadilan, kepastian hukum, dan transparansi.
“Jika pemeriksaan pajak bisa dilakukan sesuka hati tanpa batas waktu dan tetap sah, maka itu bukan reformasi pajak, tapi regresi hukum,” tutup Rinto.
Baca Juga: Kemenkeu Buka Peluang Terapkan Pajak Kekayaan untuk Para Orang Super Kaya Indonesia
Selanjutnya: Pasar Wait and See, Harga Emas Bergulir Tipis
Menarik Dibaca: Pasar Wait and See, Harga Emas Bergulir Tipis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News