kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini alasan metode PCR dan rapid test bisa saling melengkapi


Jumat, 15 Mei 2020 / 23:28 WIB
Ini alasan metode PCR dan rapid test bisa saling melengkapi
ILUSTRASI. Berbagai alat uji cepat penyakit atau rapid test merek Biozek


Reporter: Fahriyadi | Editor: Fahriyadi .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kontroversi soal metode pemeriksaan orang yang terduga terinfeksi virus corona (Covid-19) tes cepat atau rapid test yang dinilai kurang akurat terus bergulir.

Metode polymerase chain reaction (PCR) dianggap sebagai satu-satunya cara mengetahui orang terinfeksi corona atau tidak secara akurat membuat metode rapid test jadi sorotan publik.

Ketua Pengurus Harian Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menilai PCR dan rapid test tetap dibutuhkan karena saling melengkapi dalam menangani pandemi virus corona.

Menurutnya, pengambilan spesimen lendir menggunakan swab dan pemeriksaan menggunakan PCR adalah metode dalam mendeteksi virus SARS-Cov2. Pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama dan lebih rumit.

Selain itu, pemeriksaan sampel hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan kelengkapan khusus. Oleh karena itu, butuh waktu beberapa hari hingga hasil tes bisa keluar

Lamanya hasil tes swab memang terjadi secara umum di Indonesia. "Kira-kira membutuhkan waktu 2 sampai 3 hari," katanya dalam keterangannya, Jumat (15/5).

Dia menjelaskan, lamanya hasil tes swab karena laboratorium pemeriksa sampel lendir dari hidung seseorang itu jumlahnya terbatas. Bahkan, hanya ada di rumah-rumah sakit milik pemerintah. "Sementara, sampel yang harus diperiksa bisa ribuan jumlahnya," ujarnya.

Dokter spesialis paru di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta Timur ini mengatakan, selain PCR ada pula rapid test. Hasil rapid test bisa diketahui sekitar 2 - 3 jam.

Metode rapid test yang mengandalkan tes antibodi dengan mengambil sampel darah seseorang hanya menunjukkan respons individu melalui antibodinya terhadap virus yang masuk ke dalam tubuh.

Dia menjelaskan, hasil dari rapid test adalah reaktif dan non-reaktif. Lebih lanjut, ia menerangkan reaktif berarti antibodi sudah muncul di dalam tubuh lantaran virus yang sudah masuk. Sementara itu, non-reaktif artinya antibodi belum muncul.

Ia mengatakan metode tang paling ideal yakni tes cepat berbasis real time-polymerase chain reaction (RT-PCR).

Faktanya, metode yang banyak dipakai saat ini adalah rapid test menggunakan sampel darah. Oleh karena itu, masyarakat perlu mendapat informasi yang tepat, termasuk bagaimana akurasi alat rapid test yang digunakan.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Melkiades Laka Lena, mengatakan kedua metode tersebut masih dapat diterapkan dalam menangani Covid-19.

Orang yang merasa memiliki indikasi Covid-19 sebaiknya menjalani rapid test. Jika hasilnya reaktif, orang tersebut perlu mengonfirmasi dengan menjalani PCR.

“Keduanya saling melengkapi dan dibutuhkan. Jangan saling dibenturkan,” kata politisi Partai Golkar itu.

Menurutnya, ditemukannya kasus alat rapid test dengan tingkat akurasi rendah memang membutuhkan evaluasi.Namun, kasus itu tidak untuk meniadakan metode rapid test ditambah lagi WHO telah merekomendasikan sejumlah rapid test kit maupun PCR.

Mengutip drugtestsinbulk.com, WHO telah menguji sejumlah rapid test kit yang diproduksi berbagai Negara. Ada tiga produk yang memiliki tingkat akurasi sekitar 80% hingga 90%.

Hasil uji rapid test dari China dan Amerika Serikat (AS) menyatakan InTec dengan tingkat akurasi 84,60%, Cellex dengan tingkat akurasi 86,55%, dan Healgen/Orient Gene dengan tingkat akurasi 91,66%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×