Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed merevisi ke bawah proyeksi makro ekonomi Amerika. Hal itu mengindikasikan bahwa kemungkinan kenaikan Fed Fun Rate yang lebih kecil dengan periode yang lebih lambat dibanding sebelumnya.
Namun kondisi itu tidak membuat otoritas Bank Indonesia (BI) bernapas lega dengan melonggarkan kebijakan moneternya. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Selasa (14/4), BI memutuskan mempertahankan BI rate 7,5% dengan suku bunga deposit facility dan lending facility tetap pada level masing-masing 5,5% dan 8%.
Keputusan dinilai sejalan dengan upaya mencapai sasaran inflasi 4% plus minus 1% pada 2015 dan 2016 serta mengarahkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat 2,5%-3% terhadap PDB.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan perbaikan ekonomi Amerika yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi global tidak sekuat perkiraan sebelumnya. Pemulihan ekonomi global terus berlangsung secara lamban.
Meskipun pembelian aset oleh Bank Sentral Eropa (ECB) telah membawa sedikit udara segar yang mendorong penurunan yield dan perbaikan arus investasi portofolio, harga komoditas global tetap berada dalam level rendah. BI mencatat aliran modal masuk portofolio asing yang masuk ke pasar keuangan Indonesia hingga Maret mencapai US$ 3,5 miliar.
BI pun mencatat adanya peningkatan portofolio asing pada April pasca pengumuman hasil Federal Open Market Committee (FOMC) Amerika dan pembelian aset ECB. Tidak heran rupiah sejak April berada pada level di bawah Rp 13.000 per dollar AS, tidak seperti bulan Maret yang kera berada di atas Rp 13.000. Berdasarkan kurs tengah BI, Selasa (14/4), rupiah berada pada level Rp 12.979.
"Tekanan terhadap rupiah mereda dan mengalami apresiasi sejak pertengahan Maret pasca pertemuan FOMC dengan pernyataan yang cenderung dovish," ujar Tirta, Selasa (14/4). Maret 2015 secara rata-rata rupiah melemah 2,37% bila dibanding bulan sebelumnya ke level Rp 13.066 per dollar AS.
Apresiasi positif ini tidak membuat BI lantas menurunkan suku bunganya. Kinerja ekspor disinyalir masih terkontraksi walaupun mulai mengalami perbaikan. Harga komoditas yang lemah dan melambatnya permintaan dunia khususnya produk manufaktur menjadi kendala besar.
Hal inilah yang membuat BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan berada pada batas bawah rentang 5,4%-5,8%. Pertumbuhan investasi tertahan meskipun masih ada potensi peningkatan pada triwulan II dan triwulan-triwulan selanjutnya.
"Pencapaian pertumbuhan tahun ini akan dipengaruhi seberapa besar dan cepat realisasi proyek infrastruktur pemerintah," terang Tirta. Realisasi proyek pemerintah ini akan mendukung konsumsi masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News