Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan menggelar tax amnesty jilid II atau Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022.
Pemerintah membagi dua kebijakan dalam PPS yakni, kebijakan I untuk wajib pajak (WP) orang pribadi dan badan peserta tax amnesty 2016/2017. Lalu, kebijakan II untuk WP atas harta perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2020.
Nah, bagi WP yang ingin ikut serta dalam pengampunan pajak ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan.
Pertama, pengungkapan dilakukan dengan Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) yang disampaikan secara elektronik melalui laman https://pajak.go.id/pps. SPPH dilengkapi dengan SPPH induk, bukti pembayaran pajak penghasilan (PPh) Final, daftar rincian harta bersih, daftar utang, pernyataan repatriasi dan/atau investasi.
Baca Juga: Ini Isi Lengkap Aturan Pelaksanaan PPS atau Tax Amnesty Jilid II
Namun, untuk peserta PPS dengan skema kebijakan II ada beberapa tambahan administrasi yang perlu dilengkapi antara lain pernyataan mencabut permohonan (restitusi atau upaya hukum), surat permohonan pencabutan banding, gugatan, dan peninjauan kembali.
Kedua, peserta PPS dapat menyampaikan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya untuk membetulkan SPPH apabila ada perubahan harta bersih atau kesalahan tulis, hitung atau perubahan tarif.
Ketiga, peserta PPS dapat mencabut keikutsertaan dalam PPS dengan mengisi SPPH selanjutnya dengan nilai 0. Peserta PPS yang mencabut SPPH dianggap tidak ikut PPS dan tidak dapat lagi menyampaikan SPPH berikutnya.
Keempat, pembayaran dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak (KAP) PPh Final 411128 dan Kode Jenis Setoran (KJS) untuk kebijakan I yakni 427, untuk kebijakan II 428. Pembayaran tidak dapat dilakukan dengan pemindahbukuan.
Kelima, PPh Final yang harus dibayarkan sebesar tarif dikali nilai harta bersih atau harta dikurang utang.
Sementara itu, pemerintah juga mengatur untuk kebijakan I, pedoman yang digunakan untuk menghitung besarnya nilai harta per 31 Desember 2015, yaitu, nilai nominal untuk harta kas atau setara kas, dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah/bangunan dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) untuk kendaraan bermotor.
Kemudian, nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk, untuk emas dan perak, nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk saham dan waran yang diperjualbelikan di PT BEI.
Lalu, nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia untuk SBN dan efek bersifat utang/sukuk yang diterbitkan perusahaan. Jika tidak ada pedoman, menggunakan hasil penilaian Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP).
Untuk kebijakan II, pedoman yang digunakan untuk menghitung besarnya nilai harta per ?31 Desember 2020, yaitu nilai nominal, untuk kas atau setara kas, harga perolehan, untuk selain kas atau setara kas.
Jika tidak diketahui, menggunakan nilai wajar per 31 Desember 2020 dari harta sejenis atau setara berdasarkan penilaian WP.
Tata cara pelaksanaan PPS tersebut tertuang dalam Pertaran Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK/03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak. Beleid ini diundangkan per 23 Desember 2021.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Neilmaldrin Noor, mengharapkan WP dapat mengikuti PPS karena program ini memiliki banyak manfaat untuk WP.
Menurutnya, PPS adalah kesempatan yang diberikan kepada WP untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta.
Ia menyebut banyak manfaat yang akan diperoleh WP, di antaranya, terbebas dari sanksi administratif dan perlindungan data bahwa data harta yang diungkapkan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP.
“PPS diselenggarakan dengan asas kesederhanaan, kepastian hukum, dan kemanfaatan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela WP sebelum penegakan hukum dilakukan dengan basis data dari pertukaran data otomatis (AEoI) dan data ILAP yang dimiliki DJP,” ujar Neilmaldrin, Senin (27/12).
Baca Juga: Sah! Pemerintah Terbitkan PMK Tax Amnesty Jilid II
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News