Reporter: Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Jelang momen-momen khusus seperti Pilkada atau di tengah ramainya kasus penistaan agama yang dituduhkan pada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), tak dipungkiri, media sosial menjadi salah satu media penyebar informasi tercepat. Namun, maraknya informasi kerap ditunggangi informasi tak benar alias hoax.
Hoax kerap meningkatkan kewaspadaan namun lebih sering mengantarkan keresahan di tengah masyarakat. Berangkat dari hal ini, sejumlah pegiat media sosial, bersama dengan tokoh lintas agama, budayawan, akademisi, dan pemerhati sosial membentuk komunitas Masyarakat Indonesia Anti Hoax.
Kelompok ini akan menyusun dan mensosialisasikan code of conduct bagi warga yang ingin bersosial media dengan santun.
Hoax merupakan informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya. Bisa diartikan sebagai upaya pemutarbalikan fakta, melalui proses pembacaan dengan informasi yang meyakinkan, tetapi tidak dapat diverifikasi. Terkadang hoax juga diartikan sebagai tindakan mengacaukan informasi yang benar, dengan cara membanjiri suatu media dengan pesan yang salah untuk menutupi pesan yang benar.
Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax Septiaji Eko Nugroho mengatakan, tak jarang, informasi palsu disebarkan oleh mereka yang berpendidikan tinggi.
“Beberapa kali informasi hoax yang viral di media sosial juga memicu keributan bahkan merembet menjadi kerusuhan fisik, seperti kasus pembakaran tempat ibadah di salah satu kota, hal ini bukan saja menghabiskan energi, namun juga sangat berpotensi mengganggu keamanan nasional.” ujar pria yang akrab disapa Adji ini dalam Deklarasi Masyarakat Anti Hoax, dikutip KONTAN dari rilis resmi, Kamis (1/12).
Salah satu tokoh yang ikut menandatangai Piagam Masyarakat Indonesia Anti Hoax, Komaruddin Hidayat, menyayangkan banjirnya informasi yang bersifat fitnah namun dipercaya, bahkan mampu menggerakkan masyarakat untuk melakukan pembunuhan karakter, hingga menghujat kepala negara.
“Saya ingin semua ini berakhir, baik dengan penindakan hukum, maupun dengan masyarakat kembali bermedia sosial dengan santun sesuai dengan code of conduct,” ujar Komarudin.
Salah satu penyusun kelompok ini Anita Wahid menambahkan, ingin menyadarkan kembali berinternet dengan cerdas. Gerakan ini ingin menyelamatkan warga juga dari potensi jerat pidana akibat menyebarkan hoax.
Pengamat hukum dan praktisi hukum pidana La Ode Ronald Firman mengatakan, pada salah satu poin revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), DPR telah memperkuat peran pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif, termasuk di dalamnya hoax, di internet, dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan pasal 40.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News