Reporter: Yohan Rubiyantoro | Editor: Tri Adi
JAKARTA. Pemerintah akhirnya menanggapi keluhan pabrik yang enggan membikin obat generik karena harganya tidak sesuai dengan biaya produksi. Kementerian Kesehatan telah melakukan penilaian kembali dan rasionalisasi harga untuk obat generik.
Menteri Kesehatan telah menetapkan harga 453 item obat generik. Pemerintah menurunkan harga 106 item obat dan menaikkan harga 33 item obat. Adapun harga 314 item lain tetap. "Rata-rata kenaikannya 3%," kata Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Sri Indrawaty, Rabu (10/2).
Pemerintah menilai kenaikan harga rata-rata 3% ini cukup ideal, karena masyarakat tidak terbebani. Sebaliknya, para pengusaha terpacu untuk membuat obat generik. "Dilihat dari jumlahnya, hanya 7% obat generik yang mengalami kenaikan harga, dibanding 453 total item," ucap Sri.
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.HK.03.01/Menkes/146 /I/2010 tentang Harga Obat Generik ada beberapa obat yang mengalami penyesuaian harga. Jenis obat itu antara lain Aluminium Hidroksida 200 mg, Magnesium Hidroksida 200 mg. Untuk kemasan botol berisi 1.000 tablet kunyah harganya sebesar Rp 30.530, dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 38.163. Contoh lain, obat antimigren, Ergotamin Tartrat 1 mg + Kofein 50 mg kemasan botol 100 tablet harganya Rp 10.280, dengan HET sebesar Rp 12.850.
Kemenkes menegaskan apotek, rumah sakit, dan sarana pelayanan kesehatan lain yang melayani penggunaan obat generik harus menggunakan HET sebagai patokan harga tertinggi. "Kami akan mengawasi hal ini secara ketat," ucap Sekjen Kemenkes, Ratna R. Rosita.
Meski harga obat generik naik tipis, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menilai kenaikan itu tetap merugikan masyarakat. Sebab, harga di pasar cenderung lebih tinggi dari HET. "Harga obat generik di apotek tak dapat dikontrol," kata Tulus Abadi, Pengurus Harian YLKI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News