Reporter: Irma Yani, Rika | Editor: Edy Can
JAKARTA. Harga minyak brent melambung lagi di London, menembus rekor tertinggi di 2008. Kisruh yang telah menjalar ke Libya serta sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika Utara menyulut kekhawatiran suplai minyak akan terganggu.
Kemarin (21/2), harga minyak brent untuk kontrak pengiriman April mencapai US$ 105,8 per barel yang merupakan harga tertinggi sejak 25 September 2008. Ini terjadi sesaat setelah putra Muammar Khadaffi, pemimpin Libya, menyatakan perang saudara mungkin pecah. Libya adalah penghasil minyak terbesar ke-8 dalam Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC).
Pengamat Ekonomi Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan berkata, memanasnya suhu politik di Libya jauh lebih mengkhawatirkan dibandingkan yang terjadi di Mesir. “Mesir bukan negara produsen minyak, kecuali waktu itu Terusan Suez diblokir, karena ada sekitar US$ 2 juta barel minyak yang lewat sana. Tapi Libya adalah negara produsen terbesar minyak di Afrika," paparnya, Senin (21/2).
Ia khawatir jika terjadi sesuatu di Libya, harga minyak bisa meloncat hingga US$ 110-US$ 120 per barel. "Terlebih, kalau ini jadi bola salju ke Iran juga, harga minyak bisa melonjak tinggi,” terangnya. Iran adalah produsen minyak terbesar kedua di OPEC.
Lebih gawat lagi kalau kisruh, khususnya antara Shiite dan Suni di Bahrain, juga menular ke Arab Saudi. Maklum, Saudi menguasai seperlima pasokan minyak dunia.
Masih fluktuatif
Direktur Perencanaan Ekonomi Makro Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Prijambodo memprediksi, harga minyak masih akan fluktuatif. Ia mengamati harga minyak mentah light sweet di New York Mercantile Exchange. Harga kontrak empat bulan ke depan itu sudah US$ 94,24 per barel, cukup jauh dibanding harga spot sekarang yang sekitar US$ 85 per barel. "Ini artinya market melihat pasar minyak cukup ketat empat bulan ke depan," paparnya.
Namun, bukan berarti harga minyak tak bisa melandai lagi. Fauzi melihat, secara fundamental potensi harga minyak di bawah US$ 100 per barel tahun ini, masih terbuka. Sebab, ekonomi global belum pulih benar. Asumsi ini dengan meniadakan krisis geopolitik Timur Tengah. “Kalau ada krisis di negara-negara produsen minyak, faktor spekulator akan menjadi sangat kuat," imbuhnya.
Di tengah fluktuasi ini plus lonjakan inflasi pangan, Fauzi menduga pemerintah akan membatalkan rencana pembatasan BBM bersubsidi tahun ini. "Anggaran masih kuat. Tahun lalu defisit rendah, tahun ini saya kira hanya 1,6%," ujarnya. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran 2010 masih ada Rp 47 triliun. Di sisi lain, kenaikan harga komoditas dan energi menguntungkan kita. "Indonesia memang net importir minyak, tapi juga net eksportir energi," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News