Reporter: Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pasar surat utang Indonesia masih menarik bagi asing. Buktinya, global bond RI berdenominasi dollar Amerika Serikat yang ditawarkan pemerintah bertenor panjang menerima kelebihan permintaan di pasar global.
Pemerintah menetapkan target indikatif masing-masing senilai US$ 1 miliar dari obligasi global bertenor 10 dan 30 tahun. Bukan hanya berhasil menerima permintaan oversubscribed, pemerintah juga sukses menawarkan bond senilai 1 miliar euro bertenor 7 tahun.
Mengutip IFR News, Kamis (13/7) pemerintah Indonesia memikat permintaan US$ 4,1 miliar untuk obligasi bertenor 10 tahun, yang berasal dari 229 akun. Investor Asia membeli 40% dari notes 144A/Reg S tersebut, investor AS membeli 38%, dan akun dari Eropa membeli 22%.
Dari sisi institusinya, perusahaan pengelola dana dan manajer aset mengambill 56% porsi, tawaran dari bank mencapai 25% dari permintaan yang masuk, institusi pemerintahan dan tangan investasi pemerintahan menawar 10%, perusahaan asuransi dan dana pensiun sebesar 7%, sedangkan private bank investor bermodal tebal mengambil porsi 2%.
Sedangkan bond 30 tahun berhasil menggaet permintaan senilai US$ 3,2 miliar dari 160 akun. Investor Asia dan AS sama-sama memakan porsi 38%, investor Eropa mengambil tempat 24%.
Dari tipe investor, manajer aset dan pengelola dana mengambil porsi 55%, perusahaan asuransi dan dana pensiun bergabung mengambil porsi 28%, tawaran dari bank memakan 10%, tangan investasi resmi pemerintah menyumbang 6% dari permintaan, sedangkan investor kakap dan private bank 1%.
Permintaan obligasi Indonesia cukup diuntungkan kondisi ekonomi global yang lebih relaks setelah pernyataan bank sentral AS Federal Reserve sehari sebelumnya. Gubernur The Fed Janet Yellen mengatakan, ekonomi AS cukup sehat untuk menjalani kenaikan bunga, tapi tingkat inflasi menahan kenaikan bunga AS.
Dollar AS terdepresiasi ke level terendah 9 bulan dan mendorong investor mengoleksi kembali aset-aset berisiko, seperti obligasi yang dirilis negara berkembang. "Seiring dengan bunga AS konsolidasi, nada positif negara berkembang seperti sebelum bulan Juni, kini kembali," kata analis Jason Daw dari Societe Generale, seperti dikutip Reuters.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News