kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonomi Pesawat Kepresidenan


Minggu, 13 April 2014 / 12:27 WIB
Ekonomi Pesawat Kepresidenan
ILUSTRASI. Bursa Wall Street menghijau di penutupan perdagangan, Jumat (18/11). Investor mengabaikan komentar hawkish pejabat The Fed.


Reporter: Umar Idris | Editor: Umar Idris

Pengantar

Artikel opini ini telah terbit di Harian KONTAN, Sabtu, 12 April 2014. Artikel ini kami muat kembali di Kontan.co.id untuk melengkapi diskusi di tengah masyarakat seputar pesawat kepresidenan. Selamat membaca. 

Ekonomi Pesawat Kepresidenan

Oleh Effnu Subianto, Kandidat doktor ilmu ekonomi FEB Universitas Airlangga

Pesawat eksklusif kepresidenan jenis Boeing 737-800 BBJ (Boeing Business Jet) akhirnya tiba di bandara Halim Perdana Kusuma (10/4/2014). Kedatangan pesawat berharga hampir satu triliun rupiah itu seharusnya Agustus 2013 karena kontraknya ditandatangani 27 Desember 2010. Tiga tahun silam proses pengadaan pesawat kepresidenan ini menyedot perhatian publik.

Di tengah tingginya biaya perjalanan dinas, pembelian pesawat khusus itu menurut pandangan saya, justru malah akan memboroskan keuangan negara. Pada tahun 2006, realisasi anggaran dinas presiden mencapai Rp 75 miliar, setahun kemudian menjadi Rp 175 miliar dan Rp 180 miliar pada 2009. Dengan menyewa pesawat Garuda per tahun Rp 183 miliar, selama lima tahun biayanya mencapai Rp 919 miliar.

Selain itu, alasan lain adalah presiden juga tidak sensitif dengan semangat kandungan lokal, padahal industri nasional PT Dirgantara Indonesia (PTDI) sebetulnya mampu membuat sendiri pesawat yang handal.

Kualifikasi PTDI tidak bisa dipandang sebelah mata karena 24 Oktober 2011 melakukan flight test pertama pesawat jenis CN-295. Pesawat ini adalah hasil kolaborasi dengan Airbus Military, anak usaha EADS Belanda yang bekerja sama dalam kontrak jangka panjang dengan PTDI. Inilah ironisnya negeri ini, negara lain sudah percaya justru pemimpin nasional sendiri enggan menggunakannya.

Apakah return memiliki pesawat buatan Boeing seharga satu triliun rupiah itu sepadan? Bagaimana membiayai operasional pesawat super mahal yang mencapai US$ 3.500 per jam ini? Seringkah presiden berkunjung ke luar negeri sehingga memaksa membeli pesawat yang mampu terbang 10 jam non-stop?

Urgensi kebutuhan pesawat kepresidenan Indonesia seharusnya tidak disamakan dengan airforce one milik presiden Amerika Serikat (AS) sebagai tolok ukur. Interest AS sudah sangat jauh ke seluruh dunia, kedigdayaan AS malah sudah menjadi ikon atas dominasinya. Kehadiran presiden AS dengan segala teknologinya adalah konfirmasi dari pencitraan AS sendiri. Jadi pesawat kepresidenan AS adalah sebuah keharusan.

Setahun lalu ketika berkunjung ke India, biaya lawatan Presiden AS Barack Obama dicatat yang paling besar sepanjang sejarah kepresidenan AS. Perjalanan Obama dengan airforce one dikawal oleh 40 pesawat tempur dan juga helikopter tempur canggih, 6 mobil anti peluru, dan sebuah mobil kepresidenan Obama. Dengan mobil ini, Obama tetap terhubung penuh dengan gedung putih termasuk pemicu untuk peluncuran misil nuklir. Kemana pun Obama pergi, di ujung jarinya tetap menentukan akan memulai perang nuklir atau tidak.

Amerika dan Indonesia

Dari jumlah total rombongan 3.000 staf, Obama menghabiskan USD 200 juta per hari dalam perjalanannya selama 10 hari di India, Indonesia, Korea Selatan dan Jepang ketika itu. Amerika memang sangat berkepentingan mengapa harus mengeluarkan dana sebegitu besar, karena melihat kepentingan ekonomi dan politik mereka yang juga besar.

Di India, korporasi berbendera Amerika tercatat lebih dari 54 korporasi besar. Diantaranya Kellogg India, JP Morgan, Ford, GE, General Motors dan masih banyak lagi. Pertumbuhan ekonomi India yang konstan tinggi sudah pasti dilihat Obama sebagai modal dasar posisi India sangat strategis bagi Amerika.

Di Indonesia, korporasi raksasa yang beroperasi di negeri ini sebut misalnya Freeport McMoran dan ExxonMobile secara tidak langsung turut memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian AS. Freeport memiliki enam lokasi penambangan Grasberg Open Pit yang akan selesai tahun 2016 dengan cadangan 206 juta ton. Cadangan di bumi Papua mengungguli cadangan kekayaan alam di tiga bisnis unit Freeport di Amerika Utara, Amerika Selatan dan Afrika. Artinya nilai ekonomi Indonesia, harus diperhitungkan Obama secara aman minimal sampai kontrak penambangan Freeport berakhir tahun 2041.

Masih banyak korporasi AS yang eksis di Indonesia, dan Obama tahu betul bagaimana menjaga aset mereka. Di Korea Selatan, Amerika memiliki kepentingan untuk menyerap informasi tentang Korea Utara yang terkenal bandel terhadap resolusi nuklir AS. Di samping kepentingan ekonomi Amerika memang berkepentingan dengan kestabilan Asia-Pasifik yang harus tetap dijaga.

Melihat kepentingan maha besar ini menjadi tidak mengherankan apabila AS harus menghamburkan uang US$ 200 juta per hari untuk sebuah kunjungan yang strategis. Rakyat AS yang notabene pembayar pajak dan yang membiayai perjalanan ini, umumnya melihat perjalanan dinas Obama sebagai bagian dari kepentingan luar negeri yang harus dijaga dengan baik.

Lain AS beda dengan Indonesia. Para eksekutif pemerintah Indonesia sering mengadakan kunjungan ke luar negeri, namun tidak dalam kapasitas untuk bargaining dengan negara tujuan atau karena sebuah transaksi perdagangan yang penting. Pejabat pemerintah kita umumnya pergi dengan fasilitas perjalanan dinas namun lebih tepat disebut plesiran.

Dengan memiliki pesawat sendiri maka perjalanan dinas itu menjadi leluasa dilakukan dan akan menjadi agenda rutin yang harus dilaksanakan. Jika pesawat yang mahal itu idle atau tidak digunakan, malah akan mubazir. Ongkos pemeliharaannya sangat besar apabila tidak dipakai dengan maksimal.

Inilah ironinya. Tujuan awal dengan memiliki pesawat sendiri untuk menghemat dana sebesar Rp 175 miliar per tahun yang dibayarkan ke Garuda, BUMN sendiri. Namun dengan memiliki pesawat sendiri, malah perjalanan dinas itu akan semakin sering, karena jika tidak dipakai malah menjadi biaya. Secara teknis, pesawat mahal ini hanya bisa dipakai di luar negeri karena panjang landasan bandara kepulauan dalam negeri pasti tidak akan ada yang dapat menerimanya.

Yang fatal, sudah mahal ongkosnya, tidak memiliki nilai ekonomi pula kepada bangsa. Lalu, tidak salah publik bila masih bertanya, untuk apa sejatinya memiliki pesawat khusus presiden jenis Boeing 737-800 BBJ-2 yang super canggih itu?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×