kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ekonom: Industri hasil tembakau dibenci, tapi juga diharapkan


Selasa, 25 Agustus 2020 / 06:50 WIB
Ekonom: Industri hasil tembakau dibenci, tapi juga diharapkan


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peneliti Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, rencana pemerintah meningkatkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negara (RPJMN) perlu mempertimbangkan industri hasil tembakau yang banyak melibatkan pemangku kepentingan. 

Menurutnya, instrumen cukai tidak cukup menurunkan prevalensi perokok di Indonesia. Dus, Ahmad bilang, bila tarif cukai naik hanya akan berdampak ke penerimaan negara. Sementara, dampaknya akan melebar ke mata rantai industri hasil tembakau mulai dari petani, penurunan volume produksi rokok, ekspor menurun, bahkan pemutusan hubungan kerja. 

Baca Juga: Cukai rokok bakal naik tahun depan, ini kata Bupati Temanggung

“Kebijakan kenaikan tarif cukai akan terus berdampak negatif bagi industri. Industri hasil tembakau ini dibenci tapi diharapkan, karena kontribusinya besar buat penerimaan negara, ekspor, dan penyerapan tega kerja cukup signifikan. Pemerintah perlu duduk bersama, tidak hanya satu kementerian saja,” kata Ahmad dalam seminar Akurat Solusi: Mengakhiri Polemik Kebijakan Cukai, Minggu (23/8).

Ahmad menyarankan sebaiknya pemerintah secara gamblang dan tegas segera membuat roadmap untuk mengharmonisasikan dan mensinergikan antara kepentingan kesehatan, ekonomi industri hasil tembakau, serta semua pemangku kepentingan. 

Menurutnya, salah satu alternatif formula kebijakan CHT yang berkeadilan adalah mengakomodir berbagai pemangku kepentingan secara proporsional. Misalnya, memasukkan komponen yang menjadi representasi kepentingan pada perhitungan tarif dan struktur CHT seperti kandungan tar/nikotin, golongan produksi, komponen tenaga kerja, dan bahan baku lokal.

Sementara itu, untuk tetap menggenjot penerimaan negara, pemerintah khususnya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu perlu untuk segera mengimplementasikan cukai bagi barang dan/atau jasa yang menimbulkan dampak negatif di masyarakat. Baik dalam konteks kesehatan, lingkungan, maupun ketertiban sosial.

Baca Juga: Bersiaplah, cukai rokok naik tahun depan

Adapun, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021, pemerintah menargetkan penerimaan cukai sebesar Rp 178,5 triliun. Angka tersebut naik 3,6% year on year (yoy) dibanding outlook akhir tahun ini senilai Rp 172,2 triliun.

Secara spesifik, target penerimaan cukai hasil tembakau pada 2021 sebesar Rp 172,75 triliun, lebih tinggi 4,7% secara tahunan dibanding target akhir 2020 senilai Rp 164,94 triliun. 

Sementara itu, perkembangan realisasi penerimaan cukai hasil tembakau sepanjang semester I-2020 sebesar Rp 72,91 triliun, tumbuh 14,23% yoy. Pencapaian tersebut sudah setara 44,2% terhadap target akhir tahun ini.

Baca Juga: Sri Mulyani melantik 11 pimpinan tinggi pratama di lingkungan Kemenkeu

Untuk mengejar setoran penerimaan akhir 2021, Bea Cukai mengatur tiga strategi. Pertama, kebijakan penyesuaian tarif cukai hasil tembakau. Kedua, rencana implementasi pengenaan objek cukai baru yakni cukai kantong belanja plastik.

Ketiga, dampak penertiban cukai berisiko tinggi (PCBT) secara berkesinambungan yang ditargetkan semakin menurunkan peredaran rokok ilegal di tahun 2021.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×