Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan kebijakan moneter ketatnya, atau monetery tightening policy di penghujung tahun 2013, dengan tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 7,5%. Selain itu, BI juga mempertahankan suku bunga lending facility dan Fasbi rate masing-masing di posisi 7,5% dan 5,75%.
Sejumlah ekonom percaya, kebijakan BI ini diambil untuk merespons kekhawatiran beberapa pihak atas kebijakan ketat BI selama ini, yang akan berdampak pada perlambatan ekonomi yang terlalu dalam.
Misalnya saja ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, kalau dibiarkan terus-menerus diperketat bisa berdampak kurang bagus terhadap perekonomian.
Meski begitu, David menilai latar belakang keputusan BI dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan Desember kali ini adalah karena kondisi perekonomian yang sedikit lebih stabil dibandingkan beberapa waktu lalu.
“Saat ini inflasi sudah mengecil, neraca perdagangan sudah bisa surplus, ditambah tapering yang kemungkinan dilakukan awal tahun depan ,” ujar David, Kamis (12/12) kepada KONTAN.
Bila berkaca pada kondisi tersebut, David sepakat dengan BI kalau pengetatan harus sedikit ditahan. Meski demikian, ia percaya pengetatan masih diperlukan dalam jangka menengah, setidaknya hingga pertengahan tahun depan. Penyebabnya satu, defisit neraca transaksi berjalan masih cukup tinggi, meskipun sudah mengalami penurunan pada kuartal III lalu.
Bahkan, ekonom Danareksa Institute (DRI) Purbaya Yudhi Sadewa yang juga menjadi staf khusus Kementerian Koordinator bidang Perekonomian berpandangan bahwa pengetatan suku bunga dipandang terlalu membebani pemerintah. Dengan begitu, dengan ditahannya suku bunga di level 7,5% bisa membuat pemerintah sedikit bernapas, dari ancaman perlambatan ekonomi yang tajam.
Ia menyadari, pemerintah sebetulnya tidak terlalu senang dengan agresifitas BI dalam mengeluarkan kebijakan moneternya. Selain itu, bila BI sedikit mengerem kebijakan moneter ketatnya ini akan menjadi momentum buat pemerintah untuk membuktikan kalau beberapa kebijakan yang telah diambilnya dapat berhasil.
Sementara itu menurut ekonom bank International Indonesia (BII) Juniman, kedepan BI harus kembali menginjak rem pertumbuhan ekonomi. Sebab, masih ada beberapa permasalahan yang akan dihadapi pemerintah dalam jangka waktu menengah seperti tapering oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS), the Federal Reserve.
Pemerintah sendiri menilai paket kebijakan yang telah dikeluarkannya mampu memperbaiki masalah current account defisit (CAD).
Chatib Basri, Menteri Keuangan (Menkeu) mengatakan dengan berbagai kebijakan yang dilakukannya bisa mendorong CAD ke arah yang sustainable. “Keputusan Bi ini sudah tepat, meski BI rate tetap CAD bisa kita turunkan dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah,” ujarnya.
Seperti diketahui, pemerintah beberapa hari lalu telah mengeluarkan paket kebijakan tambahan untuk menekan impor, serta mendongkrak ekspor, dengan menaikkan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 impor dan menghapuskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bea masuk, dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) bagi pengusaha yang mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor untuk Tujuan Ekspor (KITE).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News