kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.900.000   26.000   1,39%
  • USD/IDR 16.295   0,00   0,00%
  • IDX 7.176   -23,15   -0,32%
  • KOMPAS100 1.044   -7,03   -0,67%
  • LQ45 815   -3,41   -0,42%
  • ISSI 226   -0,18   -0,08%
  • IDX30 426   -2,13   -0,50%
  • IDXHIDIV20 508   0,07   0,01%
  • IDX80 118   -0,55   -0,47%
  • IDXV30 121   0,13   0,11%
  • IDXQ30 139   -0,23   -0,17%

E-commerce masih baru, ogah dipajaki dulu


Kamis, 02 Juli 2015 / 10:05 WIB
E-commerce masih baru, ogah dipajaki dulu


Reporter: Andri Indradie, Merlina M. Barbara, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Industri e-commerce di Indonesia mulai tumbuh dan berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Satu per satu, pemain lokal dan asing masuk ke industri ini dengan ekspektasi pasar Indonesia yang demikian besar.

Beberapa pemain yang tergolong anyar antara lain e-commerce Thailand, WhatsNew, yang masuk ke Indonesia dengan mengusung situs belanja Moxy. Lewat kolaborasi dengan Ardent Capital, Moxy menyasar segmen konsumen perempuan.

Kelompok bisnis lokal juga tak ketinggalan. Grup Lippo merilis MatahariMall.com sebagai “The Alibaba of Indonesia”. Tak tanggung-tanggung, Lippo mengguyur dana investasi sebesar US$ 500 juta untuk mengembangkan bisnis anyarnya ini.

Aulia Marinto, Chief Executive Officer (CEO) blanja.com, menyebut, lantaran masih tergolong industri baru, belum ada satu pun pemain yang bisa menunjuk dirinya sebagai pemenang. “Ini menimbulkan harapan bagi semua orang, bagi semua pemain, beserta ekosistemnya,” ujar Aulia.

Namun semarak bisnis e-commerce seolah berubah jadi sendu ketika pemerintah merilis Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perdagangan Elektronik. Yang bikin pengelola e-commerce ketar-ketir adalah soal pajak dan kebijakan Know Your Customer (KYC).

Soal kewajiban perpajakan, sikap pengelola e-commerce terbelah dua. Bagi e-commerce yang memperdagangkan barang milik sendiri seperti berrybenka.com, mengaku tak ada masalah dengan persoalan pajak. CEO berrybenka.com, Jason Lamuda, sang CEO, mengklaim selama ini mereka sudah membayar pajak untuk setiap transaksi di situs mereka.

Persoalan muncul di e-commerce yang menggunakan sistem marketplace dan sistem classified ads. Daniel Tumiwa, Ketua Indonesia E-Commerce Association (IdEA), menuturkan, pemerintah perlu memperjelas pengenaan pajak terkait e-commerce yang menggunakan sistem classified ads. Pasalnya, OLX dan sejenisnya yang menggunakan sistem ini tidak memungut bayaran atas iklan yang ditayangkan di situs mereka.

Pengenaan pajak atas setiap barang yang terjual juga dinilai sulit untuk dilakukan. Pasalnya, pengelola e-commerce dengan sistem classified ads tidak mengetahui kapan barang tersebut dijual dan siapa pembelinya. “Kami hanya menyediakan tempat untuk berjualan, tidak lebih,” ujar Daniel yang juga CEO olx.co.id.

William Tanuwijaya, CEO Tokopedia, menilai pengenaan PPN kepada setiap barang yang dijual di marketplace juga tidak tepat. Pasalnya, pengelola
e-commerce hanya menyediakan wadah berjualan. Pedagangnya kebanyakan individu dengan latar belakang ibu rumahtangga, pekerja kantoran, dan mahasiswa. Ada pula UMKM yang ingin melebarkan pasar mereka di ranah online.

Para pedagang individu pun kebanyakan belum termasuk golongan pengusaha kena pajak (PKP). Selain itu, rata-rata mereka menjual produk di berbagai platform sekaligus. Jadi pelaporan pajaknya harus dilakukan oleh setiap individu. “Analoginya, pedagang di pasar atau mal, maka tanggung jawab pajak ada di masing-masing tenant,” kata William.

Sementara kewajiban pengelola marketplace adalah membayar pajak atas keuntungan yang didapatkan. Misalnya yang bersumber dari iklan, biaya berlangganan, dan komisi transaksi. Sama seperti pengelola pasar atau mal yang membayarkan pajak atas keuntungan sewa ataupun service charge yang dibebankan kepada para tenant.


Jangan dipajaki dulu
Aulia mengaku, pihaknya mendukung kewajiban perpajakan bagi pelaku usaha online. Cuma, kebijakan tersebut akan kontraproduktif jika diberlakukan sekarang. Pasalnya, e-commerce tergolong industri baru di Indonesia. Para pemainnya masih seumuran jagung, banyak yang baru mulai berusaha satu atau dua tahun. Blanja.com sendiri baru beroperasi enam bulan terakhir. Selain itu, banyak pelaku usaha yang berskala kecil.

Jadi, kalaupun RPP e-commerce diberlakukan saat ini, mesti ada jeda waktu sebelum aturan perpajakannya diberlakukan. “Kalau mengacu negara lain, menurut saya, lima tahun lagi, deh, baru pemerintah implementasikan peraturan ini ketika industri ini pun mulai matang,” saran Aulia.

Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak merasa heran jika pengenaan pajak perdagangan online malah diributkan pengelola e-commerce. Mekar Satria Utama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak, menyebut tidak ada pajak baru yang dikenakan bagi pedagang maupun pengelola situs belanja online.

Kewajiban perpajakan di bisnis online sama saja dengan yang sudah berlaku selama ini. Misalnya, yang terkait dengan Pajak Penghasilan (PPh). Semua ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang tentang PPh juga akan berlaku untuk pelaku usaha online. Begitu pun untuk transaksi barang dan jasa yang kena pajak, juga akan dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai aturan yang sudah berlaku selama ini.

Ambil contoh, jika omzet per tahun kurang dari Rp 4,8 miliar, pelaku usaha online akan dikenai Pajak Penghasilan (PPh) final 1% dari omzet. Kalau omzet di atas Rp 4,8 miliar, pengusaha online wajib menjadi pengusaha kena pajak (PKP) dan mesti memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%.

Kewajiban ini juga berlaku bagi pedagang yang menggelar dagangan di situs-situs e-commerce seperti Bukalapak atau Tokopedia dan di media sosial semacam Facebook, Twitter, dan Instagram. “Kalau misalnya bukan PKP, dia tidak boleh menerbitkan faktur pajak dan tidak berhak memungut PPN,” kata Nufransa Wira Sakti, Chief Change Management Officer, Central Transformation Office, Kementerian Keuangan.

Prinsipnya, kewajiban pajak pedagang dan pemilik toko online sama seperti pajak yang musti dibayar pedagang dan pemilik toko offline. Pemberlakuan aturan ini, lanjut Nufransa yang juga tergabung dalam Tim Perpajakan E-Commerce Direktorat Jenderal Pajak (DJP), bertujuan agar ada kesetaraan perlakuan dan keadilan bagi setiap pelaku usaha, apa pun media yang digunakan, mau online ataupun offline.


Tersandera NPWP
Kebijakan baru yang nantinya akan berujung ke soal perpajakan dan dipersoalkan pengelola e-commerce adalah soal Know Your Customer (KYC). Intinya, RPP tersebut akan mewajibkan pengelola e-commerce mengetahui identitas pedagang dan pemasang iklan di situsnya.

Caranya, e-commerce berbasis marketplace dan classified ads mesti memiliki data nomor induk kependudukan yang terdapat di kartu tanda penduduk (KTP) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) setiap pedagang dan pemasang iklan di situsnya. “Pengelola e-commerce hanya harus mensyaratkan pedagang di marketplace-nya punya NPWP. Atau, kalau tidak ada, minimal ada nomor induk kependudukan dengan KTP,”
terang Mekar yang akrab disapa Toto itu.

Kebijakan KYC dianggap bermanfaat untuk melindungi pembeli dari pedagang nakal. Jika ada pedagang menipu, berbekal identitas resmi berupa KTP dan NPWP tadi, mudah dilacak dan selanjutnya bisa di proses secara hukum. Bagi pemungut pajak, transaksi yang dilakukan oleh pedagang online akan lebih mudah ditelusuri. Sehingga akan diketahui kepatuhan perpajakannya.

Namun pengelola e-commerce menganggap kebijakan KYC yang disertai dengan identitas KTP dan NPWP bisa membunuh e-commerce lokal. Menurut Aulia, spirit online shop adalah kecepatan, free, transparan, dan kepercayaan. Nah, ketika semua pedagang online diharuskan mendaftarkan diri dengan nomor KTP dan memberikan NPWP, ini akan dianggap menyusahkan.

Akibatnya, para pedagang online akan beralih dari e-commerce resmi ke situs-situs media sosial asing seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, dan Instagram yang tidak membutuhkan persyaratan serupa. Persoalan muncul jika pemerintah tidak bisa menertibkan transaksi di platform tersebut, e-commerce lokal lah yang akan kena getahnya. “Itu akan membunuh kami pelan-pelan,” kata Aulia.

Makanya, kebijakan ini dinilai malah akan kontraproduktif dan membuat e-commerce lokal tidak bisa bersaing, baik di ranah domestik maupun global dengan e-commerce asing. “Alibaba, eBay, dan Craiglist yang sudah berjalan puluhan tahun, tidak satu pun melakukan proses KYC terhadap para lister-nya,” ujar William.

Soal identitas berupa KTP, tidak sulit untuk diperoleh. Jason menyebut, setiap kali menjalin kerjasama dengan supplier, Berrybenka memang sudah mensyaratkan data tersebut. Namun, beda halnya jika data yang diminta berupa NPWP. “Kami bisa mencoba meminta pemasok memberikan data NPWP-nya. Apa mereka mau kasih atau tidak, itu, kan wewenang mereka,” ujar Jason.

Toto menilai, kekuatiran para pengelola e-commerce ini terlalu berlebihan. Pasalnya, setiap pedagang atau pemasang iklan yang berstatus perusahaan, pasti sudah memiliki NPWP. Sementara bagi perseorangan yang memenuhi syarat, tentunya juga sudah memiliki KTP.

Jika ada pedagang, baik individu maupun perusahaan yang takut menyerahkan NPWP-nya, besar kemungkinan itu lantaran mereka tidak mau kewajiban pajaknya diketahui. Jika laporan perpajakannya benar, ketakutan tersebut tidak perlu muncul. “Jika mereka tidak punya masalah dengan perpajakan, mereka tidak akan merasa memberi NPWP ke OLX maupun Tokopedia sebagai masalah,” tandas Toto.

Perlakuan serupa juga akan diberlakukan bagi e-commerce asing yang beroperasi menjangkau Indonesia. Dalam RPP tersebut, Ditjen Pajak memasukkan usulan tentang kewajiban e-commerce asing yang menjaring konsumen dari Indonesia untuk memiliki kantor
perwakilan di Indonesia. “Untuk transaksi Indonesia, kami kenakan pajak melalui representative office yang ada di sini,” ujar Toto.

Lewat kantor perwakilan ini, pemerintah juga akan meminta data KTP dan NPWP kepada penjual yang berdagang di e-commerce luar negeri. Dengan begitu, kepatuhan perpajakannya juga bisa ditelusuri.

Jika syarat ini tidak dipenuhi, pemerintah kata Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Sri Agustina, sudah menyiapkan sejumlah sanksi. “Mekanismenya mulai dari peringatan, sanksi administratif, sampai penutupan akses situs,” kata Sri.

Namun, sejatinya efektifitas sanksi ini masih perlu diuji. Berdasarkan pengalaman di era Menteri Tifatul Sembiring, pemblokiran situs porno saja juga tidak terlalu efektif. Pasalnya, domain name system (DNS) bisa diotak-atik dengan aplikasi di gadget untuk menembus penghalang tersebut.

Terlepas dari persoalan itu, nyatanya ada juga pedagang online kecil-kecilan yang tidak merasa terganggu dengan kewajiban perpajakan perdagangan online. Salah satunya Ivana (23), yang melakoni profesi sebagai reseller online sejak 2010 lalu.

Ia mengkhususkan diri sebagai penjual produk-produk mode, seperti pakaian, tas, dan sepatu. Barang dagangan ia beli dari toko online dan offline, lalu dia jajakan kembali lewat media sosial Facebook dan Blackberry Messanger.

Bagi perempuan asal Surabaya ini, menyerahkan data berupa KTP dan NPWP serta membayar pajak bukan masalah yang besar. “Justru itu bisa menjadi nilai lebih karena kepercayaan konsumen kepada pedagang akan semakin besar. Mereka enggak bakal ragu lagi karena kita sudah terdaftar dan nggak mungkin macam-macam,” ujarnya.    

Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 40-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×