Reporter: Dadan M. Ramdan, Arif Wicaksono | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Ironis, saat produksi singkong dalam negeri melimpah dan petani kesulitan menjual komoditas tersebut, justru dalam 10 bulan terakhir, kita kebanjiran singkong impor.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), impor singkong sepanjang 10 bulan terakhir dari tiga negara yakni China, Thailand, dan Vietnam mencapai Rp 32 miliar. Impor ubi kayu ini juga terus berlangsung. Pada periode 2000-2011, rata-rata impor singkong sebesar 146.055 ton per tahun.
Padahal, Kementerian Pertanian (Kemtan) mencatat rata-rata produksi singkong pada periode itu sebesar 19,92 juta ton setahun. Sedangkan, kebutuhan dalam negeri cuma 12,14 juta ton setahun. Bahkan, Kemtan optimistis, tahun ini, produksi singkong bisa sebanyak 25 juta ton dan naik jadi 27,6 juta ton di tahun 2014 dengan area luas tanam 1,5 juta hektare.
Winarno Tohir, Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) mengatakan, impor singkong sebenarnya tidak perlu terjadi karena produksi dalam negeri melimpah. "Miris saja. Potensinya banyak, kok impor," ujarnya kemarin.
Menurut Winarno, impor singkong terjadi akibat tata niaga buruk. Pemerintah harus segera membenahinya agar petani tidak terus dirugikan. Sebab, kesenjangan informasi dan komunikasi antara petani dan konsumen industri berujung pada penumpukan produksi singkong, tapi di daerah lain justru kekurangan pasokan.
Selain itu, jarak antara pabrik dengan sentra produksi plus infrastruktur buruk juga berdampak pada harga singkong lokal tak kompetitif. "Akhirnya, industri memilih singkong impor karena produksinya efisien, dari segi harga lebih murah," papar Winarno.
Terkait kualitas, petani domestik sebetulnya bisa memenuhi kriteria yang dibutuhkan industri. "Perbedaan kualitas bukan masalah. Petani bisa memenuhinya, asalkan diberi arahan produk seperti apa yang diinginkan industri," imbuhnya.
Hal lain yang menjadi persoalan kenapa impor singkong masih terjadi, menurut Winarno, adalah tidak ada pemetaan antara sentra produksi dengan letak industri yang membutuhkan produk pangan itu. "Tugas ini yang harus dibereskan Kemtan dan Kementerian Perdagangan," tandasnya.
Kepala Sub Direktorat Ubi Kayu Kemtan, Widi Hardjono mengakui, meski produksi melimpah, impor singkong tetap terjadi karena disparitas harga. Umumnya, ubi kayu impor untuk memenuhi kebutuhan industri seperti bioetanol. "Biasanya, impor dilakukan karena ada kebutuhan di luar masa panen," ujarnya.
Widi bilang, musim panen singkong berlangsung pada periode Juli-Agustus, sedangkan Januari-Februari terjadi penurunan produksi. Di sisi lain, beberapa negara di Asia Tenggara mulai fokus pada bahan pangan ini.
Anggota Komisi IV DPR, Siswono Yudohusodo mendesak, pemerintah menghentikan impor singkong. Pemerintah harus fokus pada perbaikan infrastruktur agar produksi dan harga jual singkong lokal lebih kompetitif. "Perbaikan infrastruktur bisa menekan beban biaya produksi singkong," ujarnya.
Bagaimanapun, fakta impor singkong menunjukkan pemerintah kurang memiliki political will dalam membangun pertanian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News