Reporter: Hasyim Ashari | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengejar pajak dari perusahaan Over The Top (OTT) seperti Facebook, Twitter, Yahoo. Saat ini, proses negoisasi dengan Google sedang difinalkan, sebelum mengejar perusahaan lainnya.
Mengejar pajak perusahaan OTT bukanlah pekerjaan mudah. Mereka diduga menggunakan agressive tax planning untuk menghindari pajak. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut mereka perusahaan tak bermoral sebab mendapatkan pendapatan di Indonesia tapi tidak mau membayar pajak.
Strategi yang digunakan perusahaan global raksasa itu yaitu menempatkan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di negara-negara yang menjadi surganya pajak seperti Singapura. Kemudian, transaksi iklan yang digunakan dilakukan secara online dan langsung dengan perusahaan yang ada di negara tersebut. Dengan begitu, tidak ada transaksi di Indonesia dan tidak kena pajak.
Tak mau diakali, DJP memutar otak, agar perusahaan-perusahaan itu bisa ditarik pajaknya dengan peraturan yang ada. Muhammad Hanif, Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus bilang, sistem yang digunakan untuk menagih pajak Google dan lainnya yaitu dengan menggunakan settlement.
"Proses ini beda dengan pemeriksaan biasanya. Proses ini tidak menghitung secara rinci seperti berapa PPNnya, berapa PPhnya. Jadi di sini jumlah total pembayaran pajaknya saja dan dilakukan secara negosasi," papar Hanif beberapa waktu lalu.
Untuk lebih menguatkan, lanjutnya, DJP mengancam akan melakukan full investigation. Yaitu melakukan proses pemeriksaan seperti biasa. Ditjen pajak mengatakan, cara ini akan merugikan pihak perusahaan, sebab akan membayar pajak seperti biasa ditambah denda yang jumlahnya besar.
Dia menyontohkan proses investigasi penuh yaitu Google yang proses negoisasinya sebentar lagi selesai. Jika dilakukan proses seperti biasa Google harus mambayar sekitar Rp 5 triliun rupiah. Sebab pajaknya yang mencapai Rp 1 triliun ditambah bunganya yang mencapai 400%. "Kalau settlement itu, sanksinya akan dilupakan," katanya.
Menurutnya, aturan yang digunakan untuk menjerat OTT ini menggunakan aturan yang lama yaitu terkait dengan PPh terutama terkait objek pajak BUT, di sana dilakukan beberapa penafsiran agar bisa menjerat mereka. Yaitu meskipun BUT tidak ada disini masih tetap bisa dikebai pajak.
Hal ini dilakukan, lanjut Hanif, sambil menunggu Peraturan Menteri Keuanga (PMK) terkait pemajakan OTT, dan juga Peraturan Direktir Jenderal Pajak (Perdirjen).
Sementara Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama menyampaikan bahwa pihaknya kedepan akan menyiapkan aturan yang lebih kuat yaitu dalam Undang-undang. Dalam revisi undang-undang pajak penghasilan akan dibahas juga terkait pemajakan OTT.
"Nantinya kita juga akan koordinasi dengan Kemenkominfo sebagai yang mengatur BUT perusahaan OTT. Jadi nantinya pemajakan OTT tidak lagi harus ada BUT-nya" ungkapnya kepada KONTAN, Selasa (29/11).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News