Reporter: Ferry Hidayat | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. 65 Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Otonomi Baru (DOB) yang sedang digodok di Komisi II DPR diharapkan dapat menghapus praktik politik dinasti yang akhir-akhir ini tengah menyita perhatian publik.
Menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Komisi II DPR karena pada kenyataannya sampai hari ini praktik politik dinasti masih bercokol kuat di daerah.
Tampaknya situasi dilematis tengah dihadapi oleh Komisi II DPR dalam menggodok RUU DOB tersebut. Di satu sisi RUU DOB diharapkan menjadi pintu masuk untuk menciptakan tatanan yang demokratis di daerah, karena bertujuan untuk menghindari adanya sentralisme kekuasaan dari pemerintah pusat.
Namun disisi yang lain, RUU DOB dikhawatirkan justru akan mengerangkeng kehidupan demokrasi itu sendiri, karena memberi celah untuk menyediakan jaring kekuasaan politik atas dasar kekerabatan di daerah.
Berdasarkan rapat pleno Badan Legislasi (Baleg) dan Komisi II DPR, pada Rabu 2 Oktober 2013, terdapat 65 usulan Daerah Otonomi Baru (DOB) yang diajukan oleh Komisi II DPR. Dan dari total 65 usulan itu, hanya 3 DOB yang berasal dari Pulau Jawa.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Arif Wibowo mengatakan praktik politik dinasti sudah menjadi fenomena umum di daerah luar Pulau Jawa, Arif bilang, banyak faktor yang menyebabkan praktik ini menjadi tegak disana dan sulit untuk diberantas.
"Politik kekerabatan, itu kecenderungannya marak di luar Jawa, ini bukan soal SARA untuk memojokan ras tertentu, ini hanya menyangkut soal kultur dan kematangan berdemokrasi, banyak faktor; teknologi, arus informasi dan lain-lain yang mendukung praktek itu" kata politisi dari PDI Perjuangan ini di Gedung DPR (12/11).
Politik dinasti, lanjut Arif, adalah bukti bahwa fungsi partai politik (Parpol) sebagai pemutus praktik ini belum optimal diterapkan di luar Pulau Jawa.
"Di luar Jawa ada kecenderungan satu keluarga menyebar di berbagai partai, coba lihat itu Syahril Yasin Limpo dia Ketua DPD Partai Golkar, keponakannya di Partai Hanura, itu politik clientisme dan bukti fungsi Parpol belum berjalan di sana," tandasnya.
Bagi Arif, belum maksimalnya fungsi partai Parpol sebagai pemutus rantai 'politik clientisme' itu lebih disebabkan oleh sistem kepartaian di Indonesia yang belum mapan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News