Reporter: Bidara Pink | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) masih unjuk gigi dengan menguat selama beberapa waktu terakhir. Ini memicu pelemahan mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Bank Indonesia (BI) memandang, penguatan dolar AS ini berimbas pada arus modal investasi portofolio ke Indonesia. Bank sentral mengakui, kondisi ini akan membuat para penanam modal mencari aset yang aman.
"Yang jadi titik permasalahan adalah dolar AS makin kuat. Maka, terjadi penyesuaian di investasi portofolio. Orang ingin memegang aset yang aman, jadi berbalik ke aset tersebut," tutur Deputi Gubernur BI Aida S. Budiman dalam diskusi daring, Rabu (28/9).
Nah, kuatnya dolar AS dipicu oleh langkah bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang agresif dalam menaikkan suku bunga acuannya dan juga makin tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global. Ini juga membuat imbal hasil (yield) US Treasury tenor 10 tahun untuk meningkat di level 3,7% hingga 3,9%.
Baca Juga: Dolar AS Terus Menguat, Koreksi Harga Emas Bakal Berlanjut
Aida menilai imbal hasil yang ditawarkan dalam surat utang AS sangat tinggi. Ini bahkan memicu hengkangnya asing dari pasar keuangan dalam negeri sebesar US$ 600 juta pada 20 September 2022.
Keluarnya dana asing dari pasar keuangan domestik juga mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah. Mata uang Garuda mengalami depresiasi sebesar 4,97% sejak awal tahun. Meski begitu, Aida memandang pelemahan ini masih lebih baik bila dibandingkan dengan pelemahan mata uang negara sebaya.
Aida pun optimistis nilai tukar rupiah akan berpeluang menguat lagi. Ini dipicu oleh kondisi fundamental Indonesia yang masih baik. Selain itu, BI memiliki bantalan empuk berupa cadangan devisa yang masih tambun. Hingga akhir Agustus 2022 saja, cadangan devisa tercatat US$ 132,2 miliar atau setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri.
Ini lebih dari cukup bila dibandingkan standard kecukupan internasional yang sekitar 3 bulan impor. Seiring kondisi ini pun, Aida yakin kinerja neraca pembayaran Indonesia dan neraca transaksi berjalan akan tetap terjaga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News