kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Di hadapan forum PBB, Sri Mulyani beberkan cara RI bangun ekonomi di saat pandemi


Kamis, 02 Juli 2020 / 21:22 WIB
Di hadapan forum PBB, Sri Mulyani beberkan cara RI bangun ekonomi di saat pandemi
ILUSTRASI. Menkeu Sri Mulyani saat berbicara di hadapan forum PBB.


Reporter: Venny Suryanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Situasi pandemi Covid-19 yang tidak pasti dan tidak terduga ini merubah hidup banyak orang. Apalagi, ekonomi global telah mengalami resesi atau potensi depresi.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan, kemajuan negara yang telah dilakukan dalam 20-30 tahun terakhir dengan pengentasan kemiskinan dan berbagi kesejahteraan menjadi percuma.

Dari pandangan Sustainable Development Goals (SDGs), pandemi ini merenggut manusia, prosperity (kesejahteraan) dan partnership (kerja sama). Untuk itu, pemerintah perlu dan harus membangun kembali ekonomi Indonesia seperti sedia kala (rebirthing).

Baca Juga: Sri Mulyani: Indonesia harus mundur 5 tahun soal penurunan angka kemiskinan

"Pertama, pandemi ini mempengaruhi ekonomi negara secara signifikan. Hal itu membuat sumber pembiayaan menjadi terbatas, penerimaan perpajakan turun karena semua kegiatan ekonomi terkontraksi, dan pada waktu yang sama, perlu belanja untuk kesehatan dan Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan stimulus pemulihan ekonomi meningkat tajam," jelasnya dalam keterangan resmi bertema “Rebirthing the Global Economy to Deliver Sustainable Development”, Rabu (1/7).

Menkeu bercerita, awalnya anggaran yang sudah didesain tahun ini yakni defisit 1,7% dari GDP, di mana angka ini sangat kecil apabila dibandingkan dengan negara lain.

Namun karena pandemi Covid-19, pemerintah harus merevisi defisit sebesar 6,3% meningkat tajam. “Bagaimana caranya untuk membiayai itu? Jika sebuah negara punya space fiskal, bisa dari tabungan dari masa lalunya (past saving), juga pembiayaan dari institusi multilateral," paparnya.

Meski Menkeu turut mengapresiasi berbagai lembaga multilateral tersebut. Menurutnya, itu saja tidak cukup. Sehingga negara berkembang perlu pinjaman lainnya seperti dari pasar uang lokal, bond atau global bond.

Namun, akses pinjaman dari lembaga keuangan global untuk negara berkembang atau negara miskin bunganya terlalu tinggi. Menurutnya, itu adalah diskriminasi yang tidak menciptakan kesempatan yang sama untuk mengejar (catch up) atau mengatasi isu pandemi ini.

Baca Juga: Sitaan aset Jiwasraya Rp 18,4 triliun, Kejagung: Diminta Menkeu sebanyak-banyaknya




TERBARU

[X]
×