Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini, populasi milenials dibandingkan dengan seluruh penduduk usia kerja sebesar 24%. Angka tersebut setara dengan 63 juta penduduk, yang akan terus bertambah dan puncaknya terjadi di 2025 di mana Indonesia akan mengalami bonus demografi.
Lalu, apakah pasar tenaga kerja Indonesia sudah siap menyerap penduduk produktif yang jumlahnya akan terus bertambah tersebut? CEO General Electric Indonesia Handry Satriago mengatakan, sebenarnya jumlah pekerjaan yang muncul karena digitalisasi lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pekerjaan yang tergerus digitalisasi.
Mengutip studi McKinsey, secara historis pekerjaan yang dihasilkan oleh digitalisasi lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan yang hilang. Sehingga, potensi milenial untuk bisa mendapatkan pekerjaan di masa yang akan datang sebenarnya cukup besar.
"Dengan demikian, millenials ini akan mendapatkan pekerjaan, tapi pekerjaan jenis apa?" ujar dia di Jakarta, Rabu (27/3). Pasalnya, dalam beberapa indeks kompetisi global, posisi Indonesia belum cukup bersaing jika dibandingkan dengan negara kawasan seperti Malaysia bahkan Filipina.
Pada Global Competitivenss Index 2018 yang dirilis oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF), Indonesia menempati posisi ke 44 dari 140 negara, sementara pada Global Talent Competitiveness Index 2019, Indonesia menempati posisi ke 67 dari 125 negara.
Keberadaan digitalisasi memang akan menciptakan banyak lapangan kerja baru. Namun, tentu saja terjadi pergeseran jensi pekerjaan, di mana kebanyakan pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan dengan keterampilan.
Potensi penyerapan kerja, dengan posisi indeks kompetisi seperti yang sudah disebutkan, Indonesia masih belum siap untuk bisa meningkatkan kompetensi tenaga kerjanya menjadi tenaga kerja terampil.
"Pekerjaan yang banyak tersedia di dunia digital ada di low skill level. Dunia digital menghasilkan pengemudi Grab, pengantar barang (kurir) dan sebagainya. Tapi low skill job itu bukan yang kita inginkan," ujar Handry.
Salah satu cara agar Indonesia mengejar ketertinggalannya untuk bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam waktu relatif singkat, menurut Handry, adalah dengan sekolah vokasi.
Sebab, dengan sekolah vokasi anak-anak SMK bisa menjadi pekerja-pekerja berketerampilan yang memang dibutuhkan oleh industri di era digital, jika memang kualitas pendidikan vokasi tersebut ters ditingkatkan.
Dia mencontohkan, bagaimana Finlandia sebagai salah satu negara dengan sumber daya manusia yang paling komptitif sebanyak 60 persen SDM-nya berasal dari sekolah vokasi. Tak hanya sekolah vokasi, berbagai kegiatan yang bisa mengembangkan kreativitas milenials juga diperlukan agar mereka bisa memicu kemampuan di dunia kerja agar leboh baik.
Handry mengatakan, pekerjaan-pekerjaan terampil seperti data scientist, programmer, designer, 3D printer operator, menurutnya adalah jenis pekerjaan yang seharusnya terus dikembangkan di dalam negeri.
"The job is there, the opportunity is there, and we have the asset so the idea is vocational school and value creation activity," ujar dia. (Mutia Fauzia)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Di Era Digital, Millenial Bisa Kerja Apa?"
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News