Reporter: Dyah Megasari |
JAKARTA. "SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) akan jumpa pers di Kantor Presiden jam 20.00 WIB." Begitulah kira-kira informasi yang diterima wartawan Kepresidenan dari Biro Pers Istana, Rabu (18/4) sekitar pukul 18.30 WIB.
Ketika itu, tak ada informasi apa yang akan disampaikan SBY. Spekulasi muncul. Para wartawan berpikir SBY yang juga Presiden RI akan menyampaikan hal penting menyangkut pemerintahan jika melihat mendadaknya undangan dan lokasi jumpa pers di Kantor Presiden.
Seperti diketahui, ada beberapa isu penting yang menyangkut masyarakat luas belakangan ini di antaranya rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi atau kekacauan ujian nasional untuk SMA/SMK sederajat.
Para wartawan yang sudah meninggalkan Istana lalu kembali ke Istana dengan menerobos hujan deras dan kemacetan parah Ibu Kota. Belakangan, informasi yang diterima wartawan, jumpa pers diundur pukul 20.30 WIB. Ternyata, SBY baru keluar dari ruang kerjanya sekitar pukul 21.00 WIB. Beberapa televisi swasta sudah siap untuk siaran langsung.
Di awal pernyataannya, Presiden menyebut hanya akan menyampaikan satu hal, yakni terkait tawarannya kepada Ketua Umum Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) Zannuba Wahid atau akrab disapa Yenny Wahid untuk bergabung dengan Demokrat. Raut wajah para wartawan langsung berubah.
Dalam pernyataannya, SBY merasa nama baiknya tercemar setelah muncul pemberitaan belakangan ini. Begitu pula nama baik Yenny. Pasalnya, SBY disebut-sebut menawarkan kepada Yenny jabatan tertentu di kepengurusan Demokrat dan Yenny meminta posisi tertentu.
"Saya harus klarifikasi karena pemberitaan telah merugikan nama baik Mbak Yenny maupun nama baik saya sendiri karena seolah-olah ada tawar menawar. Bukan seperti itu," kata SBY sambil memastikan tidak ada sama sekali pembicaraan mengenai jabatan di Demokrat.
Belakangan, Yenny menolak tawaran itu setelah meminta pandangan sembilan kiai Nahdlatul Ulama (NU). SBY membenarkan bahwa Yenny ingin terlebih dulu berkonsultasi dengan para kiai NU.
Siapa yang mencemarkan nama baik SBY?
Bagaimana polemik soal posisi untuk Yenny itu muncul? Jika merunut ke belakang, adanya posisi strategis yang disediakan Demokrat untuk Yenny dilontarkan oleh Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Ahmad Mubarok.
"Kami masih butuh satu pos wakil ketua umum untuk perempuan, jadi Bu Yenny merupakan sosok yang tepat. Namanya memang dicalonkan jadi wakil ketua umum," ujar Mubarok, Minggu (7/4/2013), saat dikonfirmasi tentang kabar bergabungnya Yenny.
Pernyataan hampir senada juga dilayangkan Ketua DPP Partai Demokrat Sutan Bhatoegana, Senin (8/4/2013). Sutan mengatakan, bergabungnya Yenny Wahid ke partainya bisa menambah kekuatan Demokrat. Yenny bahkan disebut layak mendapatkan posisi strategis di partai itu. Jika Yenny mendapatkan posisi struktural di Partai Demokrat, Sutan meminta pengurus lain agar tidak "jantungan" menerima kenyataan itu.
"Kita nanti jangan meriang, jantungan kalau ternyata ada orang bagus yang masuk dan dapat struktur yang baik. Jabatan itu jangan engkau kejar, jangan engkau paksakan, welcome saja kalau Ibu Yenny memimpin partai kami," ujar Sutan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Namun, saat itu, Sutan mengatakan, belum ada pembicaraan posisi untuk Yenny. "Bukan untuk wakil ketua umum. Mungkin ada posisi lain untuk Beliau yang pas untuk membantu Ketua Umum Pak SBY," ucap Sutan.
Setelah Yenny menyatakan batal bergabung dengan Demokrat, politisi partai pemenang Pemilu 2009 itu kembali berkomentar. Ahmad Mubarok menduga, keputusan Yenny tersebut karena belum jelasnya kepastian posisi yang akan ditempatinya.
"Kan ini masih proses penentuan posisi. Saya kira karena itu. Saya kan maunya dia (Yenny) jadi Waketum. Tapi ada yang tidak setuju, karena sebentar lagi pemilu," kata Mubarok.
Politisi Demokrat Ruhut Sitompul ikut berkomentar. Menurut Ruhut, Yenny mengira bisa mendapatkan posisi tinggi di Demokrat sekaligus membawa gerbong Nahdliyin masuk bersamanya.
Ruhut menyebut, Demokrat tetap mengutamakan kadernya untuk masuk kepengurusan. Untuk menjadi pengurus Demokrat, kata Ruhut, kader harus 'berdarah-darah' terlebih dulu.
"Tidak bisa langsung naik posisinya. Harus kerja keras, berdarah-darah dulu. Lihat bagaimana Pak SBY dan Bu Ani, tidak hanya berdarah-darah, nyawa pun direlakan mulai dari awal membangun partai ini. Lihat juga Mas Ibas, jadi tidak ada yang langsung minta posisi," kata Ruhut.
Jadi, siapa yang mencemarkan nama baik SBY? (Sandro Gatra/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News