kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Efek menyakitkan naiknya harga BBM bersubsidi


Rabu, 26 Juni 2013 / 15:59 WIB
Efek menyakitkan naiknya harga BBM bersubsidi
ILUSTRASI. Jahe bisa Anda pakai sebagai cara mengusir lalat.


Reporter: SS. Kurniawan, Francisca Bertha Vistika, Asep Munazat Zatnika | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Mulai Sabtu (22/6), harga baru bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang lebih mahal berlaku. Setelah empat tahun lebih menikmati premium dan solar seharga Rp 4.500 per liter, pemilik kendaraan bermotor mesti merogoh kocek lebih dalam untuk membeli seliter bensin.

Harga premium naik Rp 2.000 menjadi Rp 6.500 per liter dan solar naik Rp 1.000 jadi Rp 5.500 per liter. Kenaikan harga BBM bersubsidi ini hampir sama dengan tahun 2008 lalu, tepatnya 24 Mei, pemerintah mengerek harga premium menjadi Rp 6.000 seliter dan solar menjadi Rp 5.500. Itu ketiga kalinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikkan harga BBM selama masa pemerintahannya.

Dan, seperti yang sudah-sudah, bak bensin yang gampang menyambar ke mana-mana bila tersulut api, begitu juga efek kenaikan harga BBM bersubsidi. Alhasil, sudah bukan rahasia lagi, infl asi tinggi bakal mengekor kenaikan harga BBM. Lihat saja tahun 2005 dan 2008 lalu, saat pemerintah mendongkrak harga premium dan solar. Angka infl asi ketika itu mencapai dua digit, masing-masing sebesar 17,11% dan 11,06%.

Tapi, pada kenaikan BBM bersubsidi tahun ini, pemerintah kelewat percaya diri dan berani mematok target inflasi sepanjang 2013 hanya 7,2%. Memang, sih, lima bulan pertama infl asi berlari cukup pelan. Apalagi, dua bulan terakhir, April dan Mei terjadi defl asi. Sehingga, infl asi selama Januari hingga Mei lalu baru 2,28%.

Deflasi dua bulan berturut-turut tersebut yang membuat pemerintah makin mantap menaikkan harga BBM. “Saya masih percaya infl asi bisa 7,2%, tidak setinggi yang waktu itu dimunculkan oleh Bank Indonesia sebesar 7,76%,” kata Chatib Basri, Menteri Keuangan.

Cuma, menurut Doddy Arifianto, ekonom Universitas MaChung, Malang, infl ansi tahun ini bisa mencapai 8,1%. Sebab, setiap kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 10% akan menyebabkan inflasi 0,8%. Maka, dengan kenaikan harga BBM sekitar 33% bakal mendorong infl asi sejauh 2,5%.

Doddy memperkirakan, dampak kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap harga barang dan jasa akan berlangsung sampai Desember 2013. Pada bulan pertama dan kedua yang bertepatan dengan bulan puasa dan lebaran, efeknya memang sangat besar. “Tapi, bulan-bulan berikutnya akan mulai menurun
dampaknya,” ujar dia.

Hanya, Destri Damayanti, Kepala Ekonom Bank Mandiri, mengingatkan, jika pemerintah tidak melakukan upaya langsung untuk mengerem kenaikan harga pangan, infl asi bakal terbang tinggi hingga 8,2%. Kalau pemerintah mampu menjaga pasokan makanan, inflasi tahun ini hanya 7,8%.

Walau tidak bisa menjadi patokan, berkaca ke pengalaman kenaikan harga BBM bersubsidi tahun 2008 yang hanya empat hari menjelang bulan puasa, ketika itu infl asi Oktober mencapai angka fantastis: 8,70%. Nah, kenaikan harga BBM tahun 2013 hanya dua pekan menjelang bulan Ramadan.

Yang pasti, kenaikan harga BBM bersubsidi yang menyulut inflasi tinggi bakal menggerus daya beli masyarakat. Destri memproyeksikan, daya beli masyarakat yang semestinya bisa tumbuh di atas 5,3% tahun ini akan menjadi 5,1%.

Sulit tumbuh di atas 6%

Kalau sudah begini, pertumbuhan ekonomi di atas 6% bisa terancam. Sebab, konsumsi rumahtangga masih menjadi andalan, selain investasi, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kita tahun 2013.

Kondisi itu diperparah kinerja neraca perdagangan kita yang masih relatif lemah. Ekspor dan impor akan tumbuh pada tingkat yang relatif rendah. Terbukti, April lalu, nilai ekspor Indonesia turun 2,8% menjadi US$ 14,69 miliar ketimbang Maret yang mencapai US$ 15,02 miliar. Walhasil, rapor neraca perdagangan kita yang sempat biru pada bulan Maret kembali memerah pada April. Neraca dagang kita selama April lalu defi sit US$ 1,62 miliar.

Selama Januari hingga April2013, rapor neraca dagang kita juga merah lantaran mengalami defisit sebesar US$ 1,85 miliar. Gara-garanya, nilai ekspor Indonesia dalam empat bulan pertama tahun ini hanya US$ 60,11 miliar, sementara impor mencapai US$ 61,96 miliar. Dan, bukan tidak mungkin defisit neraca dagang akan berlangsung sepanjang tahun.

Kalau itu terjadi, maka mengulang kejadian tahun lalu. Pada 2012, neraca perdagangan mengalami defisit sebesar US$ 1,65 miliar, yang merupakan kejadian pertama kali sejak defi sit tahun 1961 silam.

Terlebih, kenaikan harga BBM bersubsidi ternyata tidak bisa mengerem konsumsi premium dan solar. Lah, buktinya, pemerintah menambah kuota BBM tahun ini dari 46 juta kiloliter (kl) menjadi 48 juta kl. Impor BBM sudah pasti meningkat yang bisa membuat neraca perdagangan defisit lagi.

Kinerja ekspor yang terus keok melawan impor tentu akan menyeret turun pertumbuhan ekonomi tahun ini. Makanya, pemerintah mengoreksi asumsi pertumbuhan menjadi hanya 6,3%, dari sebelumnya sebesar 6,8%. Ekonomi pada kuartal pertama yang hanya tumbuh 6,02% juga menjadi pertimbangan pemerintah memangkas target pertumbuhan ekonomi di tahun 2013.

Namun, target pemerintah terbilang ambisius. Sebab, Destri memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi tahun ini mentok di angka 6%. Memang, kenaikan harga BBM awalnya memang akan menyakitkan. Cuma, untuk jangka menengah dan panjang, kebijakan tersebut akan berdampak bagus. “Ke depan pemerintah bisa mengalokasikan dana yang tadinya untuk subsidi BBM ke sektorsektor lain,” imbuhnya.

Ya, semoga saja begitu.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 39 - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×