Sumber: TribunNews.com | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana mengatakan Indonesia bisa meniru Amerika Serikat (AS) dalam hal kedaulatan, khususnya saat menyikapi sebuah perjanjian internasional.
Menurutnya, AS melakukan pendekatan berbeda sebagai negara yang selektif dalam merespons perjanjian internasional.
Meski aktif dalam pembentukan berbagai konvensi global, AS kerap menolak untuk meratifikasi perjanjian internasional jika dirasa tidak sejalan dengan kepentingan dalam negeri.
"Indonesia harus seperti Amerika Serikat yang tahu betul apa arti dari suatu kedaulatan. Kalau misalnya kepentingan nasional kita terganggu dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara internasional, kita akan mengatakan kita tidak akan ikut dalam perjanjian tersebut," kata Prof Hikmahanto, Senin (2/6/2025).
Baca Juga: Indonesia, Filipina, AS, dan Vietnam Lakukan Latihan Gabungan Penegakan Hukum Maritim
Hal ini ia sampaikan untuk menanggapi perjanjian internasional Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang belum pernah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sejak diperkenalkan tahun 2002, namun pengaruhnya dinilai sudah menyusup secara halus ke sistem hukum nasional, sehingga memunculkan kekhawatiran potensi intervensi pihak asing terhadap kebijakan dalam negeri Indonesia.
Menurut Hikmahanto, Indonesia secara konsisten menolak meratifikasi perjanjian tersebut karena RI punya ekosistem industri tembakau yang besar dan berakar kuat dalam sejarah dan budaya.
"FCTC dianggap sebagai alat tekanan global terhadap negara-negara penghasil tembakau. Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki ekosistem industri tembakau yang besar dan berakar kuat dalam sejarah dan budaya, secara konsisten menolak meratifikasi perjanjian tersebut," ungkapnya.
Ia menjelaskan, sejak era Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo (Jokowi), hingga terkini Presiden Prabowo Subianto telah berani mengambil langkah tegas tidak meratifikasi FCTC.
"Kami menyebut keputusan ini sebagai bentuk nyata perlindungan terhadap kedaulatan nasional," katanya.
Sementara itu Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin), Faisol Riza, memastikan tidak akan memberlakukan kebijakan penyeragaman kemasan rokok.
Baca Juga: Bea Masuk 32% Untuk Ekspor Indonesia ke AS, Analis: Petaka Bagi Industri Padat Karya
Sikap ini diambil untuk melindungi industri rokok yang sudah memberikan sumbangan besar kepada perekonomian Indonesia melalui pajak dan cukai hasil tembakau (CHT).
"Kesepakatan berhasil dicapai usai kami berdiskusi secara langsung dengan Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), Dante Saksono Harbuwono. Jadi, Wamenkes dengan terbuka menerima dan sampai hari ini kita bahas, termasuk misalnya penyeragaman bungkus itu tidak akan terjadi," ungkap Faisol Riza.
Sedangkan dalam pernyataan sebelumnya Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, mengkritisi potensi cacat formil dalam penyusunan PP 28/2024. Jika terbukti kebijakan itu disusun tanpa partisipasi publik yang bermakna, maka secara hukum peraturan itu bisa dibatalkan.
"Kalau misalnya terbukti PP 28/2024 dibuat tanpa ada partisipasi, ya berarti secara prosedur cacat. Berarti dibatalkan, secara formilnya tidak terpenuhi. Cacat. Itu kita belum bicara substansi loh," ujar Eddy.
Sedangkan, Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menyatakan, PP 28/2024 memiliki dampak ekonomi yang sangat besar, yakni mencapai Rp182,2 triliun, dengan 1,22 juta pekerja di seluruh sektor terkait terdampak.
Baca Juga: Indonesia Siap Memulai Perdagangan Karbon Internasional
Menurut Henry Najoan, PP 28/2024 mengadopsi kebijakan asing atau pengalaman negara lain tanpa mempertimbangkan konteks lokal di Indonesia.
Dengan mengadopsi peraturan-peraturan global, sejarah keberadaan budaya lokal kretek disebutnya akan terancam hilang.
GAPPRI juga mencatat, kemasan rokok polos berpotensi mendorong peralihan konsumen ke produk rokok yang lebih murah dan peralihan ke rokok yang tidak jelas produsennya.
Permintaan produk legal juga diprediksi turun sebesar 42,09 persen.
Baca juga: APTI Nilai Rencana Penyeragaman Kemasan Rokok Berdampak ke Petani Tembakau
Baca Juga: Trump Teken Perintah Eksekutif, Warga AS Tak Lagi Bayar Obat Termahal di Dunia!
"Situasi industri hasil tembakau legal saat ini memerlukan deregulasi. Pemerintah perlu meninjau ulang atau sinkronisasi peraturan satu dengan lainnya sehingga memberikan rasa keadilan demi cita-cita kemandirian ekonomi nasional," pungkas Henry.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Guru Besar UI Sebut RI Bisa Tiru AS Soal Kedaulatan dari Intervensi Internasional, https://www.tribunnews.com/nasional/2025/06/02/guru-besar-ui-sebut-ri-bisa-tiru-as-soal-kedaulatan-dari-intervensi-internasional?page=all.
Selanjutnya: Bursa Global Senin (2/6): Wall Street Terkoreksi, Dolar Loyo Saat AS-China Memanas
Menarik Dibaca: Pasar Saham dan Obligasi Hancur, Robert Kiyosaki Bilang Orang Rame-Rame Beli Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News