kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Butuh Dukungan Internasional untuk Percepat Pengurangan Emisi Karbon


Senin, 14 November 2022 / 09:36 WIB
Butuh Dukungan Internasional untuk Percepat Pengurangan Emisi Karbon
ILUSTRASI. Kontan - Kominfo g20 Kilas Online. Photo by Shutterstock.com


Reporter: Tim KONTAN | Editor: Ridwal Prima Gozal

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Indonesia yang menjadi tuan rumah presidensi G20 2022 akan menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Nusa Dua, Bali pada pekan depan, tepatnya 15-16 November. 

Ini merupakan pertemuan puncak G20 yang merupakan forum kerja sama yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia. 

Banyak isu penting dibahas secara global dalam pertemuan G20. Salah satunya di sektor energi transisi menyangkut isu perdagangan karbon.

Indonesia termasuk yang paling getol menyebarkan isu ini. Apalagi, Indonesia sudah menyiapkan target nol emisi karbon atau net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat jika mendapat sokongan internasional.

Apalagi, Indonesia menaikkan target pengurangan emisi karbon dari sebelumnya 29% menjadi 31,89% dengan usaha sendiri pada tahun 2030 mendatang. Serta sebesar 43,20% dengan dukungan internasional.

Indonesia melalui Presidensi G20 juga telah mengajak seluruh negara anggota G20 untuk menghasilkan solusi global atas permasalahan krisis energi dengan menjadikan transisi energi sebagai salah satu isu prioritas dalam upaya mengurangi emisi karbon.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, isu krisis energi harus ditangani tanpa mengorbankan proses transisi energi. Ia bilang, transisi energi harus dilakukan secara adil, terjangkau, dan dapat diakses oleh semua orang.

"Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat dan target tersebut tidak boleh diizinkan," ujar Airlangga dalam pernyataan resminya, Jumat (4/11).

Namun untuk mewujudkan target tersebut, Indonesia memerlukan dana yang besar. Nilainya bisa mencapai Rp 3.799 triliun jika merujuk pada Nationally Recognized Contribution (NDC).

Menurut Airlangga, berbagai cara sudah dilakukan pemerintah untuk mengumpulkan dana demi mewujudkan target emisi nol tersebut.

Salah satu upaya adalah dengan memanfaatkan Indonesia sebagai Presidensi G20. Di forum tersebut, Indonesia berharap dapat melakukan kerjasama perdagangan karbon dengan negara maju di G20.

Pemerintah Indonesia sendiri sudah menempatkan pajak karbon dan perdagangan karbon sebagai salah satu cara untuk membiayai program langit biru tersebut. Program lainnya adalah adanya pendanaan internasional.

Adapun sumber dana lainnya, kata Airlangga, dapat berasal dari investasi internasional seperti GCF (Green Climate Fund) melalui program REDD+, sukuk hijau global, sukuk hijau ritel, dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Sebagai informasi, harga jual karbon dunia saat ini berkisar US$ 5-US$ 10 per ton CO2. Nah, hasil kesepakatan COP-26, Indonesia berharap dapat meningkatkan permintaan global akan kredit karbon. Imbasnya adalah bisa membuat harga jual karbon menjadi lebih tinggi.

Menurut Airlangga, hutan dan lautan Indonesia yang luas dapat menghasilkan kredit karbon yang dapat ditransaksikan di tingkat global untuk mencapai target penurunan emisi di banyak negara.

Indonesia memiliki pendapatan US$ 565,9 miliar dari perdagangan karbon dari hutan, bakau dan gambut.

Pemerintah menyadari bahwa energi mendorong perekonomian. Maka itu, transisi energi harus fokus pada pengurangan intensitas karbon dan memberi manfaat bagi setiap rumah tangga. 

Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah juga telah menyiapkan beberapa skema, termasuk di bidang penetapan harga karbon dan perdagangan karbon. Selain itu, investasi hijau juga terbukti lebih menarik baik di pasar modal maupun branding publik.

Karbon Biru

Sementara, J. Rizal Primana, Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan, pengurangan emisi karbon menjadi salah satu agenda pembahasan di pertemuan G20. Sebagai Presidensi G20, Indonesia mencoba menawarkan solusi pengurangan emisi karbon untuk meredam pemanasan global.

Salah satu keberatan dengan mendorong negara G20 mengelola ekosistem karbon biru atau karbon biru secara berkelanjutan.

Sebagai gambaran karbon biru merupakan istilah yang digunakan untuk ekosistem laut dan pesisir yang mampu menangkap karbon.

"Ekosistem blue carbon dipercaya bisa menyerap emisi karbon untuk jangka panjang sehingga efeknya bisa mengurangi dampak perubahan iklim," kata Rizal dalam seminar Blue Carbon: Enabling Conservation and Financial Capital di Nusa Dua Convention Centre, Bali, 8 Agustus 2022 lalu.

Ia menyebut potensi kabron biru di Indonesia mencapai 3,4 giga ton (GT) atau 17% dari karbon biru dunia. 

Sebaran karbon biru sepanjang pesisir pantai seperti hutan mangrove, padang lamun dan lahan gambut di kawasan pesisir.

Ekosistem pesisir ini dapat membantu penyerapan emisi karbon yang ada di atmosfer dan lautan, kemudian menyimpannya pada daun, batang, akar, serta sedimen yang ada di dalamnya.

Hitungan Rizal, karbon biru bisa berkontribusi lebih besar dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 29% secara nasional, dan 41% secara global hingga 2030.

“Kita harus menjaga dan merehabilitasi ekosistem blue carbon yang semakin terdegradasi,” jelas Rizal.

Ia menyebut, saat ini luas padang lamun di Indonesia mencapai 293.465 hektare (ha) sampai 875.957 ha.

Padang lamun ini mampu menyerap karbon hingga 119,5 ton karbon per ha.

Sementara hutan mangrove Indonesia mencapai 3,3 juta ha yang mampu menyerap 950 ton karbon per ha. 

Dukungan Butuh Internasional

Sementara Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin mendesak agar semua negara harus menjadi bagian dari solusi mengatasi masalah iklim. Semua negara harus berkontribusi sesuai kapasitas masing-masing dengan semangat berbagi beban bukan tanggungan beban.

“Negara yang lebih mampu harus membantu Perubahan dan memberdayakan negara lainnya,” ujar Ma'ruf saat berbicara pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB atau Conference of the Parties (COP) ke-27 di Mesir, Senin (7 / 11).

Ma'ruf menyampaikan, Indonesia telah mengusulkan strategi jangka panjang yang mengeksplorasi peluang menuju Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Indonesia juga melakukan berbagai upaya lintas sektor untuk menuju target tersebut. 

Termasuk transisi energi dan inisiatif terbaru untuk mengurangi emisi di seluruh sektor dan pasokan pasokan.

Oleh karena itu, tutur Wapres, untuk mengatasi masalah iklim ini, Indonesia terus mengupayakan pengurangan laju deforestasi dan degradasi lahan. Diantaranya melalui reboisasi, konsolidasi kembali dan pengaturan ketinggian air lahan gambut, termasuk pemulihan 756.000 hektar kawasan bakau.

Berkenaan dengan pendanaan aksi iklim, Indonesia mendesak negara-negara maju untuk setidaknya menggandakan sumber daya iklim kolektif untuk adaptasi iklim negara-negara berkembang.

“Hal ini dapat dilakukan melalui peta jalan yang konkret, termasuk pengelolaan dana pada kerugian dan kerusakan yang akan didirikan berdasarkan Kerangka Kerja Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC),” kata Ma'ruf.

Indonesia sendiri, lanjut Ma'ruf, telah menyampaikan Enhanced Nationally Determined Contribution yang memuat peningkatan target penurunan emisi Indonesia menjadi 31,89% dengan kemampuan sendiri, dan 43,20% dengan dukungan internasional.

Peningkatan tersebut selaras dengan perkembangan signifikan kebijakan pemerintah Indonesia. Antara lain konser restorasi dan restorasi listrik alam, penerapan pajak karbon, mencapai Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, pengembangan ekosistem, serta program inisiasi biodiesel B40.

“Guna memastikan pendanaan transisi energi, Indonesia telah meluncurkan Country Platform for Energy Transition Mechanism,” ujar Ma'ruf.

Ma'ruf mengatakan, semua upaya nasional tersebut perlu disertai dengan dukungan internasional yang jelas. Termasuk penciptaan pasar karbon yang efektif dan berkeadilan, investasi untuk transisi energi, dan dana untuk aksi iklim.

“Untuk itu COP27 harus dimanfaatkan tidak hanya untuk majukan ambisi, namun juga implementasi, termasuk pemenuhan dukungan dari negara maju untuk negara berkembang,” ucap Ma'ruf.

Semoga KTT G20 tahun ini bisa menghasilkan kesepakatan yang lebih maju mengenai perubahan iklim dan perdagangan karbon.

Info terkini tentang G20 kunjungi g20.org

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×