kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Butuh aturan pajak berbasis data


Sabtu, 23 Desember 2017 / 17:02 WIB
Butuh aturan pajak berbasis data


Reporter: Adinda Ade Mustami, Ghina Ghaliya Quddus, Lidya Yuniartha | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bisnis jual beli online (e-commerce) tengah berkembang pesat. Dalam beberapa tahun ke depan, perdagangan dalam jaringan (daring) diprediksi semakin besar. Mengantisipasi pertumbuhan e-commerce, pemerintah pun menyiapkan regulasi yang terkait dengan mekanisme transaksi perdagangan digital.

Kementerian Keuangan (Kemkeu) tengah menggodok aturan pajak untuk e-commerce berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK). PMK itu akan mengatur bagaimana e-commerce di tataran domestik dan lintas negara.

Di tataran domestik, misalnya, pembahasan dari aturan tersebut masih terhambat oleh penentuan Wajib Pungut (WAPU) Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Salah satu opsinya adalah marketplace dan penyedia jasa kurir.

Direktur Peraturan Perpajakan I Arif Yanuar mengatakan, pihaknya masih membahas siapa yang menjadi perpanjangan tangan Ditjen Pajak untuk mengumpulkan PPN dari transaksi jual beli online. Selama ini, Ditjen Pajak mengantongi data transaksi jual beli melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) milik Bank Indonesia (BI).

Namun ia bilang, data dari NPG belumlah cukup. Masih ada beberapa kendala. Pertama, BI tidak memiliki kapasitas memisahkan transaksi jual beli onlinedan non-online. Kedua, belum bisa membedakan pihak wajib pajak (WP) yang harus dipungut PPN dan bukan. Sebab, ada skalanya agar PPN bisa dipungut. Nah, hal ini masih dibicarakan dengan BI dan marketplace untuk kelancaran pelaksanaan pungutan pajak bisnis daring ini.

Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, pada dasarnya BI mendukung upaya pemerintah mengatur perdagangan digital. Ia bilang, perdagangan secara digital berpotensi mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun saat ini perdagangan di era digital memiliki banyak hambatan, salah satunya koneksi internet yang masih rendah di Indonesia. "Nah, ini yang harus ditingkatkan," tutur dia.

Pajak yang adil

Ketua Bidang Ekonomi dan Bisnis IdEA sekaligus Country Manager Rumah123 Ignasius Untung mendesak agar beleid seputar pajak e-commerce disusun berdasarkan data. Hal ini penting agar kebijakan yang dilahirkan memberikan keadilan bagi semua pihak.

Untuk itu, Ignasius mendukung upaya Badan Pusat Statistik (BPS) mengumpulkan data e-commerce mulai Januari 2018. Ia bilang, langkah ini merupakan tahap awal dalam menganalisa ekonomi digital. "Buat saya ini suatu kemajuan. Sebab, kami dari asosiasi tidak punya data," imbuhnya.

Ignasius menyatakan, sebanyak 320 pengusaha e-commerce anggota idEA, bersedia ikut mengumpulkan data untuk pemerintah. Ia menjelaskan, salah satu yang dikumpulkan oleh e-commerce adalah data merchant yang berjualan di masing-masing marketplace, berapa persen omzet yang di atas dan di bawah Rp 4,8 miliar.

Anthony Fung, Chief Executive Officer Zalora, mengatakan, pelaku usaha e-commerce mengharapkan aturan yang akan dikeluarkan itu benar-benar mendukung kegiatan bisnis daring di tanah air. Ia juga meminta agar rencana pengenaan pajak yang baru untuk bisnis online tidak buru-buru dilakukan.

"Kami berharap penerapan pajak ini sebaiknya perlu ditelaah lebih lanjut," ujar dia. Kendati demikian, ia bilang, kalaupun pajak tetap diterapkan, pihaknya tetap berharap pajak itu tidak terlalu memberatkan pelaku usaha.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan aturan pajak. Sebab, bisnis e-commerce baru di tahap berkembang. Aturan yang ada jangan jadi penghambat. "Seharusnya pemerintah memberikan insentif supaya e-commerce bertumbuh. ," ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×