Reporter: Siti Masitoh | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, pengelolaan fasilitas insentif perpajakan tahun 2022 belum memadai sebesar Rp 2,73 triliun.
Hal itu tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2022.
Fasilitas insentif yang dimaksud di antaranya, Pendapatan Pajak Dalam Negeri antara lain terdiri dari pendapatan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), maupun Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) yang telah diterima kas negara.
BPK melakukan pemeriksaan terhadap: database realisasi pemanfaatan, database faktur pajak, register Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD), register Surat Keterangan Bebas (SKB), dokumen penagihan dan pencairan, serta dokumen penyajian dan pelaporan pemanfaatan fasilitas dan insentif perpajakan tersebut.
Hasil pemeriksaan menunjukkan permasalahan di antaranya, pertama, pemanfaatan fasilitas PPN dibebaskan atas impor dan/atau penyerahan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis dan impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) Tertentu tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 2,36 triliun.
Baca Juga: BPK Memberikan Dua Rekomendasi Kepada Pemerintah Terkait Pelaksanaan Ibadah Haji
Kedua, pemanfaatan fasilitas PPN tidak dipungut pada kawasan perdagangan bebas tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 207,4 miliar.
Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui terdapat 35.560 pemanfaatan fasilitas PPN Tidak Dipungut sebesar Rp207,4 miliar namun transaksi dilakukan kepada pembeli yang berada di tempat lain dalam daerah pabean dan bukan merupakan WP yang berada di KPBPB.
Ketiga, berdasarkan hasil pengujian atas kesesuaian dan kelayakan penerima fasilitas PPN DTP diketahui terdapat 44.063 pemanfaatan fasilitas PPN DTP sebesar Rp 156,9 miliar yang tidak memenuhi persyaratan dan tidak memperoleh persetujuan DJP. Dengan tidak terpenuhinya syarat pemanfaatan insentif PPN DTP tersebut, maka berlaku ketentuan perpajakan umum yaitu PPN terutang bagi WP. DJP belum melakukan penagihan pajak terutang tersebut kepada WP terkait.
Keempat, pemanfaatan fasilitas PPN DTP Penanggulangan Covid-Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) menggunakan atau menyajikan informasi referensi tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 990 juta.
Kelima, pemanfaatan insentif PPN DTP tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 7,7 miliar.
Baca Juga: BPK: Ada Kelemahan Sistem Pengendalian Intern di LKPP Tahun 2022
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah agar memerintahkan Direktur Jenderal Pajak untuk menginstruksikan Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan supaya melakukan validasi pelaporan realisasi pemanfaatan insentif WP secara optimal dan memastikan offset atas Insentif PPN DTP sebesar Rp 1,7 miliar.
Kemudian, menginstruksikan Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian supaya melaksanakan fungsi pengawasan atas pemanfaatan fasilitas dan insentif perpajakan yang tidak memenuhi persyaratan sehingga menjadi realisasi penerimaan perpajakan umum secara optimal.
Lalu, menginstruksikan Kepala KPP terkait supaya melakukan upaya perpajakan umum atas insentif PPN DTP yang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 7,7 miliar termasuk nilai yang akan dilakukan offset sebesar Rp1,7 miliar.
Terakhir, menginstruksikan Kepala KPP terkait supaya melakukan penelitian atas pemanfaatan fasilitas PPN dibebaskan impor, PPN tidak dipungut pada Kawasan perdagangan bebas, pemanfaatan fasilitas PPN DTP, dan pemanfaatan fasilitas PPN DTP PC-PEN yang tidak sesuai ketentuan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News