Reporter: Eka Saputra | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Tubagus Haryono, meminta kejelasan aturan main tata kelola migas. Menurutnya saat ini terjadi degradasi undang-undang (UU) dengan beberapa peraturan pemerintah (PP).
“Dari perspektif hilir, UU yang ada sudah cukup baik, tapi persoalannya UU itu terdegradasi dengan PP No. 67 Tahun 2002 tentang badan pengatur dan penyediaan migas melalui pipa serta PP No. 36 Tahun 2004 tentang kegiatan usaha hilir migas. Bagaimana mungkin badan pengatur melakukan pengawasan lewat mekanisme pengaturan?” tandasnya.
Sudah tujuh tahun terakhir pihaknya mengajukan permohonan perbaikan PP. No 67 Tahun 2002, tapi hingga kini belum ada kejelasan. Di samping itu, terkait revisi UU No 22 tahun 2001 tentang Migas, ia berharap ada independensi bagi BPH Migas.
Tubagus pun menilai hingga saat ini belum ada kejelasan soal pengertian hilir yang diatur BPH Migas. “Faktanya tidak semua hilir diatur BPH Migas. Yang kami butuhkan adalah kejelasan. Kami sadar BPH Migas awalnya hanya mengatur soal gas. Tapi kemudian ada komoditi strategis yang harus diatur dan diawasi pula distribusinya, yaitu bahan bakar minyak (BBM).
Ditambah jika terjadi pelanggaran hukum, situasi bertambah rumit. Seperti dipaparkan Tubagus, pihaknya hanya berwenang melakukan pengawasan. Pengawasan dijalankan lewat pengaturan. Yang diatur hanya badan usahanya. Dengan kata lain, BPH Migas saat ini tidak bisa menindak penyalahgunaan yang mungkin terjadi.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi VII DPR RI, Teuki Riefky Harsya, mengatakan pihaknya akan menerima setiap keluhan yang ada sebagai bahan perbaikan revisi UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas. “Tapi sementara ini baru draf, kita akan minta masukan dari BPH Migas dan BP Migas. Kemudian ke Badan Legislasi DPR RI sebelum Rapat Paripurna dengan pihak pemerintah,” katanya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News