Reporter: Umar Idris,Rella Shaliha | Editor: Test Test
JAKARTA. Badan Pengatur Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih bersitegang dalam menentukan ongkos produksi yang dapat diklaim kepada negara alias cost recovery tahun 2009. DPR menilai, BP Migas mengajukan angka yang terlalu tinggi.
Untuk tahun depan BP Migas memang mengajukan angka sebesar US$ 12,05 miliar. Padahal pemegang Kontrak Kerjasama (KKS) migas terbesar di Indonesia cuma ada tiga, yakni Chevron Pacific Indonesia, Pertamina EP, dan Total Indonesia E&P. Jadi duit sebesar itu sebagian besar hanya akan mengalir untuk tiga kontraktor tersebut.
DPR pun langsung menolak jumlah tersebut. "Angka ini terlalu tinggi," sergah Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR dari Fraksi Partai Golkar Harry Azhar Azis. Usulan BP Migas itu, naik tinggi bila dibandingkan cost recovery 2008 yang cuma sebesar US$ 10,5 miliar.
Menurut Harry, kalau DPR menuruti usulan itu, tentu akan menggerus sekitar 17% pendapatan negara dari sektor migas. Panitia Anggaran pun meminta BP Migas menurunkan usulan tersebut. "Paling tidak sama dengan tahun lalu, atau turun hingga sebesar 15% dari pendapatan pemerintah dari minyak," kata Harry. Selain itu, DPR menilai BP Migas tidak memiliki acuan (benchmarking) yang jelas. "Saya tanyakan, mereka tidak bisa memerinci," kata Harry.
Namun di luar ruang rapat, BP Migas mengaku mempunyai acuan atas usulannya tersebut. Peningkatan itu, akibat produksi baru dari ExxonMobil di Blok Cepu, Blok Tangguh dan masuknya minyak 50.000 barel per hari dari Chevron sebagai lifting nasional. "Sudah ada rinciannya. kok," kata Deputi Keuangan, Manajemen, dan Operasional BP Migas, Joko Harsono.
Senin pekan depan (15/9), Panitia Anggaran akan segera mengundang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk dapat segera menyelesaikan masalah. BPK saat ini tengah menggelar audit cost recovery. "Akan kelihatan mana biaya yang perlu mana tidak," kata Harry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News