Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Timah banyak terkandung di dalam perut bumi Indonesia. Tak heran, negara kita menjadi penghasil timah terbesar kedua dunia setelah China. Produksi timah kita mencapai 120.000 ton per tahun. Dengan angka itu, negara kita menguasai 40% pasokan timah di jagad ini alias
eksportir terbesar di dunia.
Namun, sebagai penguasa pasar timah dunia, Indonesia bukan penentu harga komoditas tambang tersebut. Itu sebabnya, lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 32 Tahun 2013 tentang Ketentuan Ekspor Timah, mulai Agustus 2013 lalu, kegiatan ekspor timah batangan harus melalui Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI).
Akibatnya, muncul tudingan BKDI menjalankan praktik kartel timah lantaran hanya mengakomodasi eksportir-eksportir besar. Soalnya, penjual yang melaksanakan transaksi bonafide di BKDI wajib memiliki izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas minimum 10.000 hektare. Tentu, penambang rakyat tidak masuk kategori ini.
Seakan menjawab protes tersebut, Kementerian Perdagangan (Kemdag) bersedia merevisi Permendag No. 32/2013 yang belum genap berumur satu tahun tadi. Cuma, bukan mengakomodasi aspirasi tambang rakyat, kini Kemdag justru berusaha memperketat aturan main ekspor timah melalui bakal aturan hasil revisi ini.
Ada tiga perubahan besar dalam beleid ini. Pertama, perluasan cakupan produk timah yang dibatasi ekspornya disertai klasifikasi pos tarif (HS) menjadi timah murni batangan, timah murni bukan batangan, timah paduan, dan timah solder. Ekspor keempat jenis timah itu harus melalui BKDI.
Kedua, penambahan persyaratan teknis untuk timah yang dibatasi ekspornya, meliputi kadar, bentuk, ukuran dan cara pengemasan. Ketiga, pemisahan instrumentasi atau nomenklatur pengakuan sebagai eksportir terdaftar (ET) timah diberikan masing-masing sesuai jenis produk timah.
Tambah lembaga lain
Bachrul Chairi, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemdag mengatakan, perubahan permendag tersebut masih dalam proses pembahasan yang intensif dengan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga terkait. Tak hanya itu, Kemdag juga masih terus menghimpun berbagai masukan dari pelaku usaha timah (stakeholders). “Sehingga beberapa perubahan dan penyesuaian kebijakan ekspor timah yang dimuat dalam permendag menjadi lebih komprehensif,” kata dia.
Meski ada tuduhan BKDI menjalankan praktik kartel, Bachrul menegaskan, pemerintah tetap mempertahankan BKDI sebagai penyelenggara ekspor timah melalui perdagangan di bursa timah. Penunjukan BKDI sebagai penyelenggara bursa timah, selain mempertimbangkan ketentuan dan persyaratan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) No. 104/2013, juga telah memperhatikan kesiapan penyelenggaran perdagangan fisik timah yaitu sistem transaksi, sumberdaya manusia, lembaga kliring, dan infrastrukturnya.
Tapi, Bachrul menambahkan, pemerintah bisa saja mengganti BKDI bahkan menambah lembaga lain untuk menyelenggarakan bursa timah di Indonesia. Sayang, Bachrul menolak menjelaskan lebih lanjut.
Yang jelas, pemerintah ingin Indonesia memiliki kedudukan sebagai negara produsen utama timah. Nah, guna meningkatkan posisi tawar sebagai penentu harga timah dunia, pemerintah telah mengambil kebijakan agar pelaksanaan ekspor timah melalui perdagangan di bursa timah. “Yang dalam jangka panjang diharapkan akan memberikan manfaat yang lebih besar, yakni terjadinya pembentukan harga timah Indonesia yang kuat,” imbuhnya.
Marwan Batubara, Direktur Indonesian Resources Studies, mendukung perubahan Permendag N0. 32/2013. Soalnya, peraturan itu hanya membawa keruwetan dalam tata niaga timah karena memicu ekspor ilegal. Banyak eksportir yang sengaja menghindari ekspor timah melalui bursa, agar tidak perlu membayar royalti sebesar 3%. “Karena ada celah hukum, timah batangan diakali menjadi bentuk lain seperti patung gajah lalu diklaim sebagai timah solder yang tidak diatur ekspornya,” ungkap Marwan.
Cuma, menekan ekspor timah ilegal tak hanya cukup dengan mewajibkan penjualan timah melalui bursa. Thamrin Latuconsina, Direktur Ekspor Produk Industri dan Pertambangan Kemdag, bilang, upaya itu harus melibatkan berbagai instansi berwenang terkait mengingat dalam kegiatan ekspor timah menyangkut kewenangan lintas sektoral, selain faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi, seperti kondisi geografis negara kita yang mempengaruhi kegiatan pengawasan. “Paling tidak yang bisa kami lakukan dalam mengantisipasi penyimpangan kegiatan ekspor timah adalah melalui efektivitas peran dan kegiatan surveyor dalam melihat asal bahan baku pengolahan timah,” ujarnya.
Tapi sejatinya, Permendag No. 32/2013 tidak hanya menyuburkan ekspor timah ilegal. Lebih dari itu, beleid ini juga mengancam kelangsungan nasib ribuan penambang rakyat di Bangka Belitung, penghasil timah terbesar di Indonesia, yang tergabung dalam Asosiasi Timah Indonesia (ATI).
Permendag No. 32/2013 bukan memperbaiki pasar, tapi memberikan kewenangan penuh kepada pengusaha swasta ketimbang pengusaha lokal untuk mengekspor timah. ATI mengklaim, 80% hasil timah saat ini berasal dari tambang rakyat. Ismiryadi, Ketua ATI, sepakat, peraturan diubah karena mematikan usaha timah rakyat. Tapi, perubahan itu malah memperketat kegiatan ekspor timah. “Permendag itu dicabut saja,” tegas Ismiryadi.
Pemerintah bergeming.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News