CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.527.000   14.000   0,93%
  • USD/IDR 15.675   65,00   0,41%
  • IDX 7.287   43,33   0,60%
  • KOMPAS100 1.121   3,73   0,33%
  • LQ45 884   -2,86   -0,32%
  • ISSI 222   1,85   0,84%
  • IDX30 455   -2,30   -0,50%
  • IDXHIDIV20 549   -4,66   -0,84%
  • IDX80 128   0,06   0,05%
  • IDXV30 138   -1,30   -0,94%
  • IDXQ30 152   -0,90   -0,59%

Bisa gerus pertumbuhan ekonomi, Serikat pekerja tolak wacana penghapusan skema UMK


Jumat, 15 November 2019 / 15:15 WIB
Bisa gerus pertumbuhan ekonomi, Serikat pekerja tolak wacana penghapusan skema UMK
ILUSTRASI. Sejumlah buruh keluar dari pabrik Kahatex di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat (9/11/2018).


Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia menolak wacana Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang ingin menghapus skema upah minimum kabupaten/kota (UMK).

"Dipastikan apabila rencana Menaker (Menteri Ketenagakerjaan) tersebut jadi dilaksanakan maka akan memperburuk ekonomi negara, yang akan ditandai dengan daya beli masyarakat yang semakin menurun," kata Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/11).

Baca Juga: Serikat buruh dan Pemkot Bekasi sepakat UMK 2020 sebesar Rp 4,589 juta

Mirah mengatakan, rencana menghapus UMK dan UMK Sektoral justru akan menghambat pertumbuhan ekonomi karena semakin menggerus daya beli masyarakat.

Wilayah yang masuk kategori miskin akan sulit mengejar UMK di tingkat provinsi, sedangkan wilayah yang UMK nya sudah lebih tinggi akan terhambat kenaikan UMK-nya karena harus menahan laju upahnya agak tidak memberatkan wilayah yang miskin.

"Industri yang selama ini sudah beroperasi di wilayah yang UMK nya rendah, pasti juga akan kesulitan jika UMK nya harus mengikuti keseragaman upah di tingkat provinsi," ujar dia.

Aspek Indonesia menilai, seharusnya Menteri Ketenagakerjaan lebih memprioritaskan untuk menghapus Peraturan Pemerintah No.78/2015 tentang Pengupahan karena telah melanggar Undang-Undang yang lebih tinggi, yaitu UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan mengembalikan sistem pengupahan berbasis survei kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai dasar menentukan upah minimum, baik di tingkat provinsi, kota/kabupaten.

Baca Juga: KSPI minta PTKP disesuaikan dengan batas atas iuran BPJS Ketenagakerjaan

"Ibu Ida Fauziah harus lebih adil dalam menerbitkan regulasi, sehingga nasib pekerja/buruh tidak semakin buruk," ucap dia.

Mirah juga mengingatkan Menaker untuk memfungsikan Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional dan Dewan Pengupahan Nasional dalam menyusun regulasi ketenagakerjaan.

Sehingga regulasi yang dihasilkan benar-benar sudah melalui pembahasan dan mempertimbangkan usulan perwakilan dari pihak-pihak yang mewakili kepentingan dalam dunia usaha dan tenaga kerja.

"Aspek Indonesia masih terus mendesak Pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah No. 78/2015 tentang Pengupahan dan mengembalikan mekanisme penetapan upah minimum melalui survei KHL dan dirundingkan di Dewan Pengupahan sesuai daerah tingkatannya," ujar Mirah Sumirat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×