Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7-day reverse repo rate) yang kembali ditahan di level 4,75% sejak Oktober tahun lalu dirasa masih mampu mengantisipasi kemungkinan risiko yang muncul baik dari global maupun domestik. Walaupun The Fed telah memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) bulan ini.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo mengatakan, suku bunga acuan bank sentral saat ini masih bisa untuk mencapai sasaran target inflasi tahun ini yang sebesar 4% plus minus 1%.
"Posisi (stance) kami akan sama dengan RDG bulan lalu, masih posisi kami netral dalam konteks kami mengantisipasi risiko yang akan muncul dari eksternal, global, maupun domestik," kata Dody, Kamis (15/6).
Lebih lanjut menurut Dody, posisi stance ini juga akan dipertahankan selama inflasi, kurs rupiah, dan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) masih sesuai dengan ekspektasi.
"Selama tidak ada perubahan (ekspektasi inflasi dan kurs rupiah) berarti posisi kami stance-nya tetap netral," tambahnya.
Dari sisi inflasi, BI memperkirakan inflasi sepanjang tahun ini berada di angka 4,36%. Meski demikian, pihaknya akan memperhatikan pergerakan inflasi inti (core inflation).
Dody memperkirakan, puncak inflasi akan berada di bulan ini, namun masih berada di level yang aman. Ia bilang, inflasi bulan ini akan lebih tinggi dibanding Mei lalu yang tercatat 0,39% karena masih ada dampak kenaikan tarif listrik dan kenaikan tarif angkutan.
Dari sisi kurs rupiah, Dody bilang kelanjutan kenaikan suku bunga acuan The Fed tidak akan mengganggu rupiah. Asalkan, tidak ada sentimen mengejutkan terkait kebijakan The Fed dan kondisi ekonomi domestik mendukung dana asing tak keluar dari pasar keuangan domestik.
Dari sisi CAD, BI memperkirakan CAD di bawah 2%, yaitu sebesar US$ 18,4 miliar atau 1,82% dari produk domestik bruto (PDB).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News