Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada akhir Juni 2013 lalu ternyata belum cukup untuk memperkuat postur neraca transaksi berjalan. Hal tersebut disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo di Jakarta, Kamis (14/11).
Agus bilang, walaupun kenaikan harga BBM bersubsidi mengurangi tekanan terhadap kesinambungan fiskal, namun belum kuat untuk memperkuat postur neraca transaksi berjalan yang masih defisit.
Selain itu, inflasi akibat dampak kenaikan harga BBM menjadi bagian dari proses koreksi yang tertunda. "Kondisi itu menurunkan laju pertumbuhan ekonomi," ujar Agus dalam sambutan akhir tahun Gubernur Bank Indonesia dengan tema Mengelola Stabilitas, Mendorong Transformasi untuk Pertumbuhan Ekonomi yang Berkesinambungan di Gedung BI, Jakarta.
Agus tidak memungkiri, koreksi ekonomi nasional merupakan bagian dari proses keseimbangan baru, atau rebalancing untuk menemukan kembali keseimbangan ekonomi yang lebih selaras dengan fundamentalnya.
Untuk mengatasi hal itu, Bank Indonesia memperkuat bauran kebijakan yang diarahkan untuk memastikan inflasi tetap terkendali. Kemudian nilai tukar rupiah terjaga pada kondisi fundamental dan defisit neraca transaksi berjalan ditekan menuju tingkat yang sehat.
Dalam jangka pendek, BI bersama telah membuat kebijakan jangka pendek guna menjaga stabilitas ekonomi, sehingga proses koreksi jangka pendek terkendali. Bauran kebijakan yang dilakukan BI itu adalah, menaikkan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 175 basis points (bps) menjadi 7,5% sejak Juni-November 2013.
Kemudian, diikuti langkah penguatan operasi moneter. Selanjutnya melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah, meski tren melemahnya nilai tukar rupiah sejalan dengan memburuknya neraca pembayaran. Selain itu, BI juga memperkuat kebijakan makroprudensial dan memperkuat kerja sama antar bank sentral dalam kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News