Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Rupiah benar-benar kehilangan otot. Panutupan kemarin, Selasa, (16/12), rupiah ditutup melemah Rp 12.900 per dollar Amerika Serikat (AS). Angka ini menjadikan kinerja rupiah melewati titik terendahnya saat krisis ekonomi tahun 1998.
Saat itu, mata uang garuda mencapai titik terendah di level Rp 14.950 per dollar AS pada 30 Juni 1998. Saat itu, pada saat bersamaan, harga minyak juga meloyo. Hal ini masih dibarengi dengan krisis yang terjadi di banyak negara.
Lantas, apakah kondisi saat ini juga merupakan tanda-tanda resesi ekonomi kembali terjadi? Bank Indonesia (BI) dan pemerintah tentu akan kompak menjawab pertanyaan itu dengan satu kata: tidak.
Bank sentral dan pemerintah yakin kondisi saat ini jauh lebih baik dari kondisi tahun 1998. Hal ini tercermin dari fundamental ekonomi yang sehat. Misalnya: cadangan devisa saat ini mencapai US$ 111,14 miliar, jauh lebih banyak ketimbang 1988. Inflasi dan utang juga terkendali
Kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, pemeribtah juga siap melakukan buy back alias pembelian kembali Surat Berharga Negara (SBN) jika diperlukan.
Saat ini, kata Bambang, pemerintah belum meras perlu melakukan buy back. Sayang, Bambang enggan membeberkan sumber pendanaan dalam intervensi pasar obligasi.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemkeu), per 15 Desember 2014, pelemahan rupiah secara harian mencapai 2%, mata uang Rusia, yaitu Rubel, melemah 10,2%, mata uang Turki yaitu Lyra melemah 3,4%, dan mata uang Brazil yaitu Peso turun 1,6%.
Secara year to date, pelemahan rupiah hanya sebesar 4,5%, Rubel 48,8%, Lyra 8,9%, dan Peso 12,4%. Alhasil, "Bukan hanya rupiah saja yang mengalami pelemahan. Negara berkembang lainnya pun mengalami hal yang serupa," ujar Bambang, Selasa (16/12).
Pemerintah menyebut biang keladi pelemahan rupiah dari sisi domestik dan eksternal. Pertama, dari sisi eksternal, The Fed akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun 2015. Namun kapan kenaikan ini akan dilakukan, ini menjadi sentimen pasar yang akan melemahkan rupiah.
Kedua, dari sisi domestik, Indonesia mengalami permasalahan defisit transaksi berjalan. Meski menuju perbaikan, nilainya dianggap masih tinggi untuk level negara berkembang. Tahun ini, proyeksi BI, defisit transaksi berjalan mencapai US$ 25 miliar atau 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Intervensi bank sentral
Sebagai penjaga moneter, BI masuk pasar dengan melakukan buy back SBN. Dalam dua hari terakhir, BI aktif memborong SBN yang dilepas investor asing.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo bilang, BI telah memborong SBN hingga sebesar Rp 1,5 triliun selama Senin kemarin (15/12). Adapun, "Sejak pagi tadi (16/12), BI sudah beli hampir Rp 200 miliar," kata Perry, kemarin (16/12).
Efek pembelian SBN oleh bank sentral menjadikan hargA SBI stabil. Imbal hasil atau yield SBN juga turun menjadi 8,5% dari sebelumnya pernah menembus 8,8%.
BI terus memantau kondisi pasar untuk kembali melakukan intervensi dengan membeli SBN dari pasar sekunder, atau meningkatkan lelang di instrumen moneter termasuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 9 bulan demi menjaga rupiah.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kemkeu Robert Pakpahan menambahkan, pemerintah memiliki hitungan tertentu untuk buyback. Ini tertera di Bond Stabilization Framework (BSF). Indikatornya antara lain: perubahan kurs, perubahan kepemilikan asing, dan yield. "Kemarin sempat masuk dalam level waspada, tapi BI intervensi kondisi jadi stabil," ujar dia.
Pemerintah juga telah menghubungi bank-bank besar seperti JP Morgan dan Standard Chartered. Mereka juga mengaku tidak melepas SBN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News