Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Keluhan pengusaha kehutanan terhadap tingginya harga patokan kayu berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan harga Patokan Hasil Hutan untuk Penghitungan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) tampaknya bakal terjawab. Pemerintah dalam waktu dekat akan merevisi beleid tersebut dengan menurunkan harga sesuai dengan realitas di lapangan.
Purwadi Soeprihanto, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengatakan, sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) telah menggelar pertemuan dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan, dan PT Sucofindo pada pekan lalu. "Hasilnya, harga patokan kayu akan ditetapkan berdasarkan harga jual tegakan atau masih di areal hutan," ujarnya, Selasa (17/4).
Dia bilang, dalam minggu ini, pihaknya akan meminta laporan dari pengusaha hutan baik pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH) maupun hutan tanaman industri (HTI) agar melaporkan harga jual kayu yang berlaku sekarang dengan dibuktikan faktur penjualan. Laporan tersebut nantinya akan diserahkan ke PT Sucofindo dan akan dijadikan bahan untuk proses revisi Permendag 12/2012 oleh pemerintah.
Sejak pertama diterbitkan, APHI menolak kenaikan harga patokan kayu sesuai dengan Permendag 12/2012. Purwadi menilai, kenaikan harga berdasarkan beleid perubahan Permendag 8/2007 itu tidaklah realistis. "Dalam Permendag yang baru, dasar kenaikan harganya tidak jelas. Karenanya kami menginginkan adanya revisi peraturan," imbuh dia.
Ia mencontohkan, harga kayu meranti untuk wilayah Kalimantan dipatok Rp 1,27 juta atau naik 111,7 persen dibanding harga sebelumnya, sedangkan di wilayah Papua untuk jenis kayu yang sama harganya mencapai Rp 1,7 juta atau naik 237,3% dibandingkan harga sebelumnya.
"Ini sangat aneh, harga kayu meranti di Papua justru lebih mahal dibandingkan yang ada di Kalimantan. Kami menduga harga patokan kayu yang baru itu ditetapkan berdasarkan harga jual di pabrik. Dan jadi lebih aneh lagi, karena kami harus membayar PSDH berdasarkan besaran biaya distribusi kayu dari hutan ke pabrik," tutur Purwadi.
Menurutnya, sejauh ini pengusaha hutan menghentikan produksi kayu lantaran besarnya biaya intrinsik atawa PSDH yang harus mereka keluarkan. Purwadi bilang, selama Permendag 12/2012 yang mulai efektif pada 6 Maret belum direvisi oleh pemerintah, sektor industri hulu belum bisa menyuplai kayu ke industri hilir.
Agung Nugroho, Ketua Harian MPI menambahkan, sejatinya beleid baru yang mengatur soal harga patokan kayu turut memperburuk keberlangsungan industri perhutanan. Pasalnya, dari waktu ke waktu permintaan terhadap kayu gelondong di dalam negeri belum menunjukan kemajuan karena industri kayu olahan di Tanah Air juga belum berkembang.
Menurutnya, besarnya kenaikan harga patokan kayu justru akan menyebabkan matinya pengusaha hutan dan mengurangi pemasukan negara. "Pemerintah harus membuat konsep yang pas untuk menghidupkan kembali indutri kehutanan mulai dari hulu ke hilir, dan tidak sekadar hanya menaikkan pungutan kepada pengusaha," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News