Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan nilai belanja perpajakan (tax expenditure) pada tahun 2025 akan mencapai Rp 515 triliun, atau setara dengan 2,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Angka ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan proyeksi pada Buku II Nota Keuangan APBN 2025 sebesar Rp 445,5 triliun.
Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman menilai perlu adanya evaluasi terhadap jenis insentif yang selama ini diberikan pemerintah, terutama insentif berupa pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sektor jasa keuangan.
"Menurut saya, insentif yang perlu dievaluasi adalah PPN yang dibebaskan untuk jasa keuangan. Pembebasan PPN Jasa Keuangan hanya dinikmati oleh para pengusaha," kata Raden kepada Kontan.co.id, Jumat (20/6).
Baca Juga: Belanja Perpajakan 2025 Capai Rp 515 Triliun, Ekonom: Untuk Jaga Pertumbuhan Ekonomi
Menurutnya, insentif pajak seharusnya berdampak langsung bagi masyarakat, bukan hanya secara makro atau tidak langsung.
"Akan lebih baik jika insentif benar-benar dirasakan oleh masyarakat secara langsung. Bukan secara makro (tidak langsung)," katanya.
Belanja perpajakan, jelas Raden, merupakan istilah lain dari insentif fiskal yang menyebabkan negara melepaskan potensi penerimaan pajak, seperti insentif berupa pajak ditanggung pemerintah (DTP) maupun pembebasan pajak secara langsung.
Raden mengungkapkan bahwa lonjakan belanja perpajakan pada 2025 disebabkan oleh tambahan insentif yang digulirkan pemerintah pada awal tahun dan semester kedua.
Beberapa insentif baru tersebut meliputi. PPN DTP atas rumah tapak dengan harga maksimal Rp2 miliar, serta PPh Pasal 21 DTP atas penghasilan tertentu
Selain itu, pemerintah juga secara rutin memberikan berbagai bentuk insentif seperti pembebasan PPN dan PPnBM untuk kendaraan listrik, PPN tidak dipungut di kawasan industri, insentif PPh dan bea masuk untuk barang tertentu, hingga insentif tax holiday untuk para investor.
Namun demikian, Raden menyoroti absennya evaluasi terhadap efektivitas insentif-insentif tersebut dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Seharusnya Kementerian Keuangan bukan hanya menghitung belanja perpajakan (secara nominal), namun menghitung juga dampaknya," katanya.
"Seberapa besar daya dorong insentif pajak bagi pertumbuhan ekonomi, sampai sekarang belum ada yang menghitung. Semua hanya berdasarkan asumsi dan logika ekonomi moneter," imbuh Raden.
Selanjutnya: Kontribusi Masih Mini, Dana IPO CDI Rp 2,37 Triliun Buat Ekspansi Dua Bisnis Ini
Menarik Dibaca: Alasan Asuransi Kesehatan Tambahan Tetap Penting meski Sudah Punya BPJS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News