Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok diprediksi tidak akan capai target akhir tahun. Ini disebabkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), alhasil produksi rokok turun sehingga berdampak ke pembelian pita cukai.
Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nirwala menyampaikan penerimaan cukai bakal meleset 4,3% dari target penerimaan cukai rokok akhir 2020 sebanyak Rp 173,15 triliun.
Artinya akhir tahun ini cukai rokok berkurang Rp 7,5 triliun atau hanya membukukan penerimaan senilai Rp 165,65 triliun.
Meski demikian, angka tersebut relatif tumbuh tipis dibanding pendapatan cukai akhir 2019 sebesar Rp 164,8 triliun. Sejauh ini, catatan Bea Cukai, realisasi penerimaan cukai sepanjang Januari-Februari 2020 senilai Rp 18,22 triliun atau setara 10,5% dari target akhir 2020.
Nirwala menjelaskan, pedoman PSBB dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah tidak seragam. Bahkan ada beberapa daerah yang membatasi semua pergerakan misalnya Probolinggo, Sirdoarjo, dan Malang. Dus roda perekonomian di sana cenderung stagnan.
Keterbatasan tersebut akhirnya berpengaruh kepada supply bahan baku rokok yang berujung pada konsumsi. Belum lagi masalah distribusi yang tersendat.
Akibatnya, pada pekan lalu terjadi buffer stock pita cukai khususnya di DKI Jakarta karena kekhawatiran akan berlangsung lockdown.
Transaksi pita cukai pekan lalu bahkan bisa mencapai Rp 1,5 triliun per hari. Namun, dikhawatirkan tren ini akan turun di akhir tahun mengingat pita cukai sudah diberi pada awal tahun. Apalagi produksi rokok bisa kemungkinan turun akibat konsumsi yang lebih rendah
“Memang tahun ini berat, pita cukai tidak ada maka produsen tidak bisa jualan. Tapi, walaupun diperintahkan work from home, secepat mungkin pita cukai tetap dilayani dengan protokol yang dijalankan Bea Cukai. Sekarang ada pelayanan reserve jadi harus janjian, hanya bisa diambil Jumat” kata Nirwala kepada Kontan.co.id, Sabtu (4/4).
Nirwala bilang, Bea Cukai menyiapkan protokol bila DKI Jakarta lockdown maka stock pita cukai akan ditaruh di Kerawang, ini kerjasama dengan PT Peruri.
Oleh karena itu, dengan adanya perbatasan distribusi, dikeluarkanlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.07/2020 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.
Dalam PMK tersebut menyebutkan dana bagi hasil (DBH) cukai hasil tembakau akan digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasaan barang kena cukai ilegal.
“Kami akan sosialisasi ke daerah-daerah agar produksi dan distribusi cukai tidak terganggu,” kata Nirwala.
Beleid tersebut pun sudah diturunkan peraturan pelaksananya lewat Surat Edara Nomor SE-05/BC/2020 tentang Pengawasan dan Pelayanan di Bidang Cukai dalam Masa Tanggap Darurat Wabah Covid-19. Dengan demikian Bea Cukai akan getol mengawasi peradaran dan harga rokok di lapangan setiap kuartal.
“Memonitoring harga transaksi pasar yang harga terendahnya lebih rendah 85% dari Harga Jual Eceran (HJE). Tujuannya menilai kepatuhan pabrikan dalam menjual rokoknya, untuk mencegah tidak ada predatory price pabrikan besar ke kecil,” ujar Nirwala.
Nirwala menegaskan 85% HJE bagi pabrikan bukan dikson, melainkan selisih 15% HJE merupakan persentase yang digunakan saat distribusi rokok. Jadi saat dijual ke toko ritel atau eceran selisih dimanfaatkan sebagai keuntungan.
“Kan membuat kontrol harga rokok malah jadi lebih gampang,” ujar dia.
Nah, guna menyokong industri hasil tembakau, Bea Cukai akan menerbitkan relaksasi pembayaran kredit pita cukai yang sebelumnya dua bulan menjadi tiga bulan. Tujuannya, membatu cash flow perusahaan di tengah pandemik Covid-19.
“Minggu depan akan keluar PMK-nya. Ini masih sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang (UU) Cukai di mana maksimal jangka waktu kreditnya sembilan puluh hari,” terang Nirwala.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News