Reporter: Adinda Ade Mustami, Asep Munazat Zatnika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Seperti sudah menjadi adatnya, nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) saat memasuki Juni. Namun, kali ini pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus waspada. Pasalnya, pelemahan rupiah yang kini terjadi adalah kejatuhan terdalam sejak krisis moneter. Apa lagi, rupiah juga berpotensi terus melemah dalam jangka pendek.
Kurs tengah BI mencatat nilai tukar rupiah terperosok ke Rp 13.288 per dollar AS pada 5 Juni 2015. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah sudah terdepresiasi 814 poin.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah menyatakan, pelemahan rupiah tersebut banyak disebabkan oleh faktor eksternal. Pertama, pelemahan rupiah terjadi karena Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed) terlihat semakin yakin menaikkan suku Bunga AS. Kedua, lantaran tenggat waktu pembayaran utang Yunani yang berakhir pada 30 Juni nanti.
Dari sisi domestik, inflasi Mei sebesar 0,5% turut memicu pelemahan rupiah. "Tingginya inflasi membuat khawatir. Jadi ada kombinasi eksternal dan internal," kata Halim, usai mengikuti rapat dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, akhir pekan lalu.
Faktor yang tak kalah penting adalah tingginya permintaan dollar AS pada Juni. Ya, bulan ini merupakan musimnya repatriasi aset. Perusahaan-perusahaan akan membayarkan dividen ke seluruh pemegang saham, termasuk yang berada di luar negeri.
Di Juni ada pula pembayaran bunga utang luar negeri.
Belum efektif
BI dan pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi pelemahan kurs rupiah. BI mempercepat pendalaman pasar untuk mengurangi tekanan rupiah melalui revisi tiga kebijakan sekaligus.
Pertama, Peraturan BI (PBI) Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto (PDN) Bank Umum.
Kedua, PBI Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Domestik.
Ketiga, PBI Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing. Aturan ini, mulai berlaku per 1 Juni lalu.
Tapi rupiah tetap tak bertenaga. "Rupiah bukan semata tergantung kebijakan BI, juga kebijakan pemerintah," kata Direktur Komunikasi BI Peter Jacob.
Sejauh ini pemerintah belum memiliki kebijakan kongkret mengantisipasi repatriasi aset dalam jangka pendek. Sebenarnya, pemerintah sudah memberikan insentif tax allowance bagi investor asing yang menginvestasikan kembali keuntungannya di dalam negeri. Namun, kebijakan itu tak bisa mengerem repatriasi.
Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih memproyeksi, rupiah bisa kembali menguat setelah adanya keputusan Federal Reserve soal suku bunga 18 Juni nanti. Lana memproyeksi kurs rupiah akan terangkat ke Rp 13.000-Rp 13.000 per dollar AS.
Perbaikan kurs rupiah kata Lana juga didorong penggunaan mata uang dalam negeri untuk seluruh kegiatan transaksi di dalam negeri. Untuk itu BI dan pemerintah harus benar-benar disiplin menerapkan sanksi pada mereka yang masih memakai dollar AS. n
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News