kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Aturan larangan promosi obat oleh dokter batal selesai tahun ini


Minggu, 13 November 2011 / 16:59 WIB
Aturan larangan promosi obat oleh dokter batal selesai tahun ini
ILUSTRASI. Singapura telah mengonfirmasi kasus pertama dari varian virus corona baru yang ditemukan di Inggris.


Reporter: Riendy Astria |

JAKARTA. Kementerian Kesehatan (Kemkes) berterus terang belum bisa menyelesaikan aturan mengenai pemberian resep obat oleh dokter pada tahun ini. Padahal sekitar Mei 2011 lalu, pihak Kemkes berjanji akan menyelesaikannya sebelum akhir tahun.

Aturan ini dibuat agar dokter tidak berlebihan dalam melakukan promosi obat, terutama obat keras seperti antibiotik. Dirjen Bina Farmasi Kementerian Kesehatan Sri Indrawati mengatakan bahwa aturan tersebut tidak bisa selesai tahun ini. “Belum bisa, sampai sekarang masih dibahas, karena ini berhubungan dengan berbagai stakeholders,” tutur Sri ketika dihubungi melalui telepon, Jumat (11/11).

Misalnya saja, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Sri bilang hal ini benar-benar harus dibicarakan dengan pihak IDI jangan sampai aturan ini masuk mencampuri wewenang dokter. Sebenarnya, aturan yang dibuat ini bukan peraturan rinci mengenai pemberian resep obat oleh dokter, namun lebih kepada aturan yang menuntut para dokter untuk mengikuti suatu standar (standar profesi kedokteran) agar jangan sampai berlebihan dalam memberikan resep obat.

“Kami ingin terus mengawasi adanya kemungkinan praktek-praktek tersebut,” tambahnya. Sebenarnya dalam PP Nomor 51 tahun 2009 mengenai kefarmasian sudah diatur pemberian resep obat, namun ini lebih luas lagi untuk mengingatkan dokter agar tidak kebablasan.

Menanggapi hal itu, Kepala Biro Hukum kementerian Kesehatan Budi Sampurno membenarkan bahwa aturan tersebut masih dalam pembahasan dan akan diselesaikan secepatnya. Menurutnya, aturan ini akan ada dalam standar profesi yang rencananya dibuat untuk menghadapi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

“Jadi dibuat standar yang menitikberatkan pemberian obat yang rasional dan efisien . Standar tersebut harus lebih luas juga kepada pengguna obat dan tenaga medis,” jelasnya melalui SMS, Jumat (11/11). Sampai saat ini standar tersebut masih dikaji agar tidak mencampuri wewenang dokter.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prijo Sidipratomo menuturkan sejatinya dokter memiliki kewenangan sendiri dalam memberikan resep obat kepada pasien sehingga tidak bisa diatur oleh aturan pemerintah. “Kalau isi aturannya hanya mengimbau dokter untuk mengikuti standar profesi kedokteran tidak masalah, asal bukan isi resep,” katanya.

Lebih lanjut Prijo menuturkan bahwa para dokter sudah paham mengenai standar profesi kedokteran sehingga sebenarnya tidak perlu diingatkan. Memang ada dokter yang melakukan pemberian resep obat dengan antibiotik berlebihan dan tertuju pada perusahaan farmasi tertentu, namun itu sangat sedikit.

Menurut Prijo, kalau masalahnya adalah konsumsi antibiotik yang berlebihan, itu tidak bisa menyalahkan dokter lantaran obat antibiotik itu dijual bebas di pasaran. “Kalau aturan ini adalah langkah dari ketakutan pemerintah bahwa dokter akan memberikan resep obat yang berlebihan sehingga akan merugikan pasien, ini salah, coba lihat di Pasar Pramuka, antibiotik dijual bebas, ini yang seharusnya dicegah. Antibiotik harusnya tidak dijual dengan bebas,” tandas Prijo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×