kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Aturan denda tunggakan BPJS Kesehatan dikritik


Minggu, 07 Agustus 2016 / 21:16 WIB
Aturan denda tunggakan BPJS Kesehatan dikritik


Reporter: Agus Triyono | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Lahirnya Peraturan Badan Penyelenggara Sosial Kesehatan No. 2 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan dan Pembayaran Denda Akibat Keterlambatan Pembayaran Iuran menuai kritik. Salah satunya dialamatkan pada ketentuan Pasal 19 ayat 2 peraturan tersebut.

Timboel Siregar, Koordinator BPJS Watch mengatakan, keberadaaan ketentuan dalam pasal tersebut berpotensi mengurangi jumlah iuran yang diterima BPJS. Pasalnya, peserta program yang diberhentikan sementara keanggotaannya akibat keterlambatan pembayaran iuran jaminan kesehatan lebih dari sebulan, bisa diaktifkan kembali bila merteka membayar iuran bulan tertunggak paling banyak untuk 12 bulan dan membayar iuran pada saar peserta ingin mengaktifkan kembali kepesertaan mereka.

Timboel mengatakan, harusnya pemberi kerja atau peserta bukan penerima upah tetap membayar sesuai jumlah bulan tertunggak, tidak dibatasi paling banyak untuk waktu 12 bulan. "Kecuali bagi peserta bukan penerima upah yang masuk kategori miskin," katanya akhir pekan.

Selain itu, kritik juga dialamatkan kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 25 ayat 1 yang mengatur ketentuan mengenai pengecualian denda bagi peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional dari kalangan kurang mampu. Meskipun dalam pasal tersebut diatur bahwa denda tunggakan dikecualikan bagi peserta yang tidak mampu, tapi prosedur pengecualian tersebut masih rumit dan berpotensi membuat bingung masyarakat.

Potensi kebingungan tersebut, bisa muncul akibat keberadaan ketentuan Pasal 25 ayat 3. Dalam pasal tersebut dinyatakan untuk mendapatkan keterangan mengenai ketidakmampuan peserta, masyarakat harus mendapatkan surat rekomendasi dari dinas sosial atau instansi yang berwernang setempat yang menyatakan peserta sebagai orang tidak mampu.

Timboel mengatakan, pemerintah melalui aturan tersebut harusnya secara jelas menyatakan instansi yang mereka maksud berwenang memberikan surat rekomendasi yang menyatakan orang tersebut tidak mampu. "Lembaga apa saja itu? Hal ini penting agar tidak membingungkan peserta yang memang faktanya tidak mampu," katanya.

Irfan Humaidi, Juru Bicara BPJS Kesehatan, menanggapi positif kritikan tersebut. Namun demikian, Terkait dengan keberadaan Pasal 18 ayat 2, pihaknya memang tidak memiliki pilihan lain. "Itu mengacunya Perpres Jaminan Kesehatan, jadi bukan semata BPJS yang mengeluarkan itu," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×