Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku belum mengetahui permohonan Amerika Serikat (AS) kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menjatuhkan sanksi kepada Indonesia sebesar US$ 350 juta.
"Saya tidak tahu kalau soal sanksi itu," ungkap dia saat ditemui usai sidang kabinet di kompleks istana kepresidenan, Selasa (7/8). Meski begitu ia mengaku, pemerintah Indonesia sebetulnya sudah menyesuaikan putusan dari WTO 2017 lalu.
Bahkan untuk masalah kuota impor holtikultura sendiri, pemerintah sebetulnya sudah mulai memprosesnya di tingkat Peraturan Menteri Pertanian, "Di tingkat Permentan itu sudah mulai diproses tapi memang kalau tingkatnya PP apalagi UU itu perlu waktu. Tapi itu sudah disampaikan dan mereka sudah bisa (impor)," katanya.
Sekadar tahu saja, AS tercatat telah mengajukan permohonan pada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menjatuhkan sanksi kepada Indonesia sebesar US$ 350 juta.
Hal itu dilakukan karena Indonesia dinilai tidak mengindahkan putusan WTO yang memenangkan AS dan Selandia Baru terhadap restruksi impor produk daging dan hortikultura di tingkat banding 2017 lalu.
Dalam tuntutannya, AS menuding pemerintah Indonesia tidak menjalankan putusan WTO tersebut. AS menuding, Indonesia masih saja membatasi impor makanan, tanaman dan produk hewan lainnya. Termasuk juga membatasi impor buah-buahan seperti apel, anggur, kentang, bawang, buah kering, sapi dan daging sapi serta ayam.
Maka sebagai kompensasi, Washington mendesak WTO menjatuhkan sanksi sebesar US$ 350 juta kepada Indonesia. Sanksi ini sebagai ganti rugi dampak buruk yang timbul akibat kebijakan Indonesia tersebut.
Guru Besar Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan tuntutan AS tersebut berpotensi diikuti negara lain yang merasa dirugikan kebijakan pembatasan impor oleh pemerintah Indonesia.
"Ini harus menjadi catatan penting bagi pemerintah Indonesia, meskipun impor pangan dari AS maupun Selandia Baru itu tidak terlalu besar," ujarnya.
Ia mengatakan tuntutan AS itu muncul lantaran AS masih mengalami defisit perdagangan dengan Indonesia. Kalau pemerintah Indonesia kembali membuka keran impor lebar-lebar dari AS, maka ini berpotensi merugikan petani dan peternak lokal.
Ia mendesak pemerintah segera mengambil langkah yang tepat agar tuntutan ini tidak melebar ke hal lainnya. Salah satunya Indonesia bisa melakukan kesepakatan dagang dengan AS dan Selandia Baru terkait impor produk-produk pangan tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News