kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45895,18   -2,84   -0.32%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Antara film dan ideologi negara


Kamis, 28 September 2017 / 12:45 WIB
Antara film dan ideologi negara


| Editor: Tri Adi

Belakangan ini, suasana negeri ini cukup panas. Didahului oleh kericuhan pembubaran diskusi tentang PKI di LBH Jakarta, muncul instruksi Panglima TNI Gatot Nurmantyo kepada jajaran prajuritnya untuk menonton film kontrovesial Pengkhianatan G30S/PKI. Mengapa kontroversial?

Pasalnya, film besutan  Arifin C. Noer ini sudah lama dihentikan penayangannya secara wajib karena oleh sebagian kalangan dianggap penuh dengan ‘pemelintiran’ fakta sejarah dan glorifikasi (penonjolan) sosok mantan Presiden Suharto yang kerap dicap sebagai pemimpin otoriter. Pemutaran film ini dianggap membangkitkan kondisi cinta rezim Orde Baru. Atau, memunculkan kembali fenomena SARS (Sindrom Amat Rindu Suharto).

Kehebohan bangsa seputar film ini sepintas lalu mungkin janggal. Soal film saja kok repot, demikian kira-kira sebagian orang berpendapat. Namun, film sebagai produk seni ini bisa menjadi alat penyebaran ideologi.

Budi Irawanto dalam skripsinya di UGM, Film, Ideologi dan Militer (Insist, 1999), mengkaji tiga film yang di masa Orde Baru sering diputar di satu-satunya televisi kala itu, TVRI: Enam Djam di Jogja, Janur Kuning, dan Serangan Fajar. Di sana, Irawanto menemukan adanya dikotomi sipil – militer yang terlalu tajam, dengan sipil diposisikan sebagai pihak berkepribadian lemah dan inferior dibandingkan militer.

Melihat versi film yang lain  

Tambahan lagi, misalnya dalam film Janur Kuning, ada penonjolan terhadap peran (kala itu) Letkol Soeharto sebagai pemrakarsa serangan, pemimpin di lapangan, sekaligus penembak di garis depan. Film yang berlatar belakang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 itu, misalnya, seakan melupakan peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX (sipil) sebagai penguasa riil wilayah Yogyakarta kala itu.

Beranjak dari penelitian Budi Irawanto, bisa terlihat film Pengkhianatan G30S PKI yang dibuat dalam era Orde Baru sedikit banyak memperlihatkan dan ingin mengukuhkan ideologi militer serupa sebagai “penyelamat bangsa” dan “superior”. Sehingga, segala tindak kekerasan dari aparat militer bisa dibenarkan meskipun dilakukan tanpa melalui proses peradilan.

Sisi lain, film ini sebenarnya menarik sebagai salah satu referensi sejarah bagi generasi milenial. Pasalnya, selama ini sineas film di era reformasi minim membuat film yang secara khusus membahas peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Penghentian penayangan film Arifin C. Noer selama satu dasawarsa membuat anak muda lebih banyak menerka apa apa itu peristiwa G30S.

Karena itu, instruksi Jenderal Gatot Nurmantyo, yang juga tidak dilarang oleh Panglima Tertinggi TNI Presiden Joko Widodo, sebenarnya bisa dipahami jika bertujuan untuk memberikan informasi  sejarah kepada generasi muda. Toh, melarang orang menonton film apa pun atas alasan yang bagaimana pun sejatinya tidak sesuai dengan iklim demokrasi, termasuk jika didalilkan bahwa film Pengkhianatan G30S PKI adalah alat propaganda militer, Suharto, dan rezim Orde Baru.

Hanya saja, kebebasan itu sejatinya harus berlaku dua arah. Masyarakat juga diberi kebebasan menonton film yang mengusung ideologi berbeda dengan Pengkhianatan G30S PKI. Sebagai contoh, ada film dokumenter pemenang Oscar besutan Joshua Oppenheimer, Jagal/The Act of Killings (2012), yang bercerita soal para algojo yang dahulu pada periode 1965-1966 membunuhi mereka yang dianggap simpatisan PKI tanpa proses pengadilan.

Nah, masyarakat harusnya dibolehkan pula menonton film Jagal ini secara terbuka tanpa diam-diam jika prinsip demokrasi ingin diterapkan secara murni dan konsekuen. Sebab, film ini bisa menjadi referensi yang melengkapi film-film lain bertema sejenis, termasuk Pengkhianatan G30S PKI. Masalahnya, selama ini pemutaran film tersebut beberapa kali dibubarkan secara paksa oleh sejumlah pihak.  Ini tidak menjunjung tinggi asas kesetaraan (equality) dan keadilan (fairness) dalam demokrasi.

Akhirul kalam, pemutaran film Pengkhianatan G30S PKI tidaklah perlu mengundang perpecahan. Biarkan orang bebas menonton. Serta berikan pula kebebasan bagi masyarakat untuk menonton film lain sebagai referensi. Berikan  juga kemudahan perizinan untuk membuat film bertema serupa. Supaya pertarungan ideologis antara anak bangsa bisa berlangsung secara damai, cerdas, elegan dan produktif karena dilakukan lewat medium film, bukan lewat proses gontok-gontokan. Semoga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×