Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Menjelang berakhirnya periode pengampunan pajak atau tax amnesty, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan bahwa di periode ketiga ini memang mengancam para Wajib Pajak (WP)
Direktur P2 Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan, ancaman yang dikeluarkan oleh otoritas pajak ini semata-mata adalah bentuk keadilan bagi WP yang telah melakukan kewajiban pajak, maupun telah menyelesaikan ketidakpatuhannya di masa lalu dalam program tax amnesty.
“Periode I mengimbau, periode II mengingatkan, dan periode III kalau tidak ikut kami mengancam. Ancamannya tentu sesuai pasal 18 UU Pengampunan Pajak,” ucap Hestu di Hotel Mercure Jakarta Kota, Rabu (8/3).
Ia mengatakan, akan ada sanksi yang diterapkan bagi WP yang tidak patuh membayar pajak dan tidak memanfaatkan tax amnesty. Bahkan, DJP siap menerjunkan personil hingga dua kali lipat jumlahnya untuk memeriksa harta para WP.
"Jadi kalau belum patuh tidak ikut tax amnesty, ketika diperiksa dan ditemukan harta yang belum dilaporkan dan dibayar pajaknya, harta dianggap penghasilan. Akan dikenakan tarif normal, misalnya 30% beserta sanksinya 2%,” ujarnya.
Hestu menambahkan, usai amnesti pajak ini 100 lebih negara telah sepakat dan sama-sama memiliki komitmen untuk keterbukaan informasi. Indonesia sendiri masuk pada Juli 2018. Artinya, seluruh informasi keuangan baik di perbankan, pasar modal, asuranasi, dan jasa keuangan yang lain akan dipertukarkan.
“Sebelum keterbukaan ini, kami memberikan kesempatan bagi WNI untuk ikut amnesti dulu. Negara lain tidak ada loh. Tanpa ada kesempatan dulu untuk meminta ampun untuk dapat perlakuan tarif yang rendah,” ujarnya.
Bila sudah demikian, maka tidak ada tempat lagi bagi WP untuk menghindar dari pajak negara-negara tax haven pun mau tak mau juga ikut, seperti Singapura, Swiss, dan Cayman Island.
Adapun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga akan menelusuri data keuangan WP, termasuk aliran dana yang masuk melalui program pengampunan pajak atau tax amnesty.
Hal ini dilakukan sebagai komitmen PPATK memberantas praktik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang bersumber dari kegiatan ilegal. PPATK akan menelusuri tindak pidana tertentu dari aliran uang peserta tax amnesty setelah program tax amnesty berakhir pada 31 Maret 2017. Namin bukan menggunakan data yang berasal dari tax amnesty.
“Kita akan koordinasi terus dengan PPATK, data mereka itu kan asalnya dari perbankan, kita pun nanti bisa mengakses. Jangan berpikiran ini membuat takut karena ini harus dihadapi ke depan, Kalau sudah patut buat apa ditakuti? Kalau sudah bayar ya tidak usah takut,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News