Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Gesekan antara PT Freeport Indonesia dengan beberapa suku di Papua selalu terjadi. Terakhir, masyarakat adat suku Amungme dari Tembagapura, Papua, menggugat PT Freeport Indonesia dan Freeport McMoRan Cooper & Gold Inc lantaran tak kunjung menerima dana yang telah lama dijanjikan.
Akhir pekan lalu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah menggelar sidang pertama. Selain Freeport, suku Amungme juga menggugat Pemerintah Republik Indonesia, PT Indocopper Investama, Gubernur Papua, dan Bupati Mimika.
Tapi, majelis hakim yang dipimpin Suharto memberi waktu kedua belah pihak untuk melakukan mediasi. Mereka menunjuk Hakim Ahmad Yusak sebagai mediator. Hanya saja, Titus Natkime, wakil suku Amungme, pesimistis mediasi itu bakal berjalan lancar. Menurutnya, para pihak tergugat tidak tahu bagaimana kondisi di wilayah suku Amungme. “Mereka tidak tahu situasi dan kondisi sosial masyarakat di sana,” tegasnya.
Titus menegaskan, keberadaan pertambangan Freeport telah menghancurkan hak ulayat milik sukunya. Karena itu, masyarakat adat suku Amungme menuntut ganti rugi sebesar US$ 30 miliar. “Kami menuntut ganti rugi hak yang dihitung sejak tahun 1967 sampai 2009," ujarnya. Angkanya dihitung dari awal Freeport beroperasi di tanah ulayat suku Amungme di Tembagapura.
Pencabutan hak paksa
Titus mengklaim, sebelum melayangkan gugatan ke pengadilan, pemimpin Freeport McMoRan, James Moffett, telah melakukan negosiasi dengan suku adat. Hanya saja, menurutnya, pembicaraan itu tidak ada titik temu. “Makanya, kami gugat mereka melalui pengadilan. Mereka harus bayar ganti rugi sebesar US$ 30 miliar,” tegasnya.
Sekadar informasi, masyarakat adat Amungme merupakan penduduk asli yang mendiami tanah wilayah Tembagapura dengan luas wilayah 2,6 juta hektare. Kini, sebagian wilayah itu menjadi wilayah pertambangan Freeport.
Masalahnya, Titus mengklaim, penguasaan tersebut tidak sah lantaran tidak pernah mendapat persetujuan dari masyarakat adat. Titus menuding, Freeport telah melakukan pencabutan paksa hak suku atas tanah ulayat.
Meski mengaku ada partisipasi PT Freeport untuk kesejahteraan masyarakat, Titus menilai hal itu tetap tidak seimbang dan tidak bisa dianggap sebagai ganti rugi. Pasalnya, jumlah yang diberikan tidak berbanding lurus dengan keuntungan berlipat yang diraup perusahaan itu.
Titus memperkirakan, keuntungan Freeport dari Papua mencapai US$ 9,5 miliar pertahun. Tapi, Suku Amungme sebagai pemilik tanah sama sekali tak terdaftar sebagai pemegang saham. Manfaat yang didapat dari Freeport pun tak membuat masyarakat Amungme sejahtera. Karena itu, pihaknya ingin menuntut tanggung jawab Freeport.
Manajemen Freeport menyikapi gugatan ini dengan dingin. Mereka menyerahkan perkara ini ke mekanisme hukum. “Kami ikuti saja proses hukum yang sedang berjalan,” ujar juru bicara Freeport Mindo Pangaribuan. Ia mengaku, gugatan dari masyarakat adat bukan kali ini saja. Toh, Freeport selalu menang.
Mindo bilang, selama ini Freeport sudah menaati peraturan dan perundang-undangan dan beroperasi sesuai Kontrak Karya. “Freeport ditunjuk sebagai kontraktor tunggal atas Wilayah Kontrak karya, dan mendapat hak tunggal melakukan kegiatan pertambangan di wilayah tersebut,” ujarnya.
Mindo mengklaim, Freeport telah mengucurkan dana perwalian kepemilikan tanah sejak 2001 untuk suku Amungme. Sampai akhir 2008, nilainya mencapai US$ 27 juta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News