Sumber: Kompas.com | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pesta demokrasi yang melibatkan 133.574.277 rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih sudah usai. Rakyat sudah menentukan pilihannya. Hasilnya seperti yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum pada 22 Juli lalu.
Pasangan calon nomor urut satu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperoleh 62.576.444 suara (46,85 persen), sedangkan pasangan calon nomor urut dua Joko Widodo-Jusuf Kalla memperoleh 70.997.833 suara (53,15 persen). Dengan hasil tersebut, KPU menetapkan Jokowi-JK sebagai pasangan presiden dan wakil presiden terpilih.
Namun, Tim Pembela Merah Putih yang mewakili Prabowo-Hatta menggugat hasil KPU tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menolak hasil yang telah ditetapkan KPU, menyoal perolehan angka yang dinilai tak benar (direkayasa selama proses rekapitulasi berjenjang dari tingkat TPS ke PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, hingga KPU Pusat). Mereka juga menyoal adanya jutaan pemilih siluman yang dimobilisasi dengan memanfaatkan ketentuan diperbolehkannya KTP/paspor/identitas lain untuk mencoblos. Mereka mendalilkan terjadinya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif selama Pilpres 2014.
Meski banyak yang meragukan dalil itu, Tim Pembela Merah Putih bersikukuh dan yakin akan hal itu. Mereka mengaku memiliki data lengkap dan siap dibuka di persidangan MK yang akan dimulai 6 Agustus, lusa.
Nasib bangsa ini, nasib akhir Pemilihan Presiden 2014, dan hasil akhir pesta 133,5 juta rakyat Indonesia berada di tangan sembilan hakim konstitusi. Penjaga dan penafsir tunggal konstitusi.
Siapakah mereka? Berikut sekilas profil sembilan hakim MK.
1. Hamdan Zoelva
Menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi sejak 1 November 2014 menggantikan Akil Mochtar yang sebulan sebelumnya ditangkap KPK. Mantan politisi Partai Bulan Bintang (PBB) itu menjadi hakim konstitusi dari unsur pemerintah, tepatnya sejak Januari 2010.
Seusai menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Univeritas Hasanuddin, Makassar, Hamdan memulai kariernya sebagai dosen. Namun, ia kemudian hijrah ke Jakrta dan bekerja sebagai advokat di kantor OC Kaligis and Associates. Kariernya sebagai advokat terus berkembang hingga akhirnya ia membuka kantor pengacara bersama rekan-rekannya.
Di dunia politik, ia aktif di PBB (1998-2010) dan sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Umum DPP PBB dan Wakil Badan Kehormatan PBB. Pada tahun 1999-2004, ia menjadi anggota DPR dan menjadi anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR Perubahan UUD 1945.
2. Arief Hidayat
Arief Hidayat adalah hakim konstitusi yang diusulkan oleh DPR untuk menggantikan Mahfud MD yang habis masa jabatannya per 1 pada April 2013. Enam bulan berada di MK, Guru Besar sekaligus mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, itu langsung dipercaya mendampingi Hamdan menjadi Wakil Ketua MK dalam pemilihan 1 November 2013 lalu.
3. Ahmad Fadlil Sumadi
Ahmad Fadlil Sumadi sebenarnya bukan orang baru di MK. Meski baru diangkat sebagai hakim konstitusi dari unsur Mahkamah Agung (MA), Fadlil terbilang sebagai orang lama di MK dan sudah berkecimpung di MK sejak lembaga itu berdiri. Ia adalah panitera MK pertama yang mengurus segala administrasi perkara dan penyelenggaran sidang hakim-hakim konstitusi generasi pertama hingga tahun 2008. Ia pun sempat menjadi pelaksana tugas Sekretaris Jenderal MK ketika Sekjen MK pertama Oka Mahendra mengundurkan diri. Pada tahun 2008, ia kembali ke institusi awal sebagai hakim karier dan ditugaskan sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta mulai dari tahun 2008 hingga 2010.
4. Wahiduddin Adams
Bergelut dengan peraturan perundang-undangan sudah dijalani Wahiduddin Adams sejak awal tahun 2000 ketika menjadi Pelaksana Tugas Direktur Harmonisasi Perundang-undangan pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM. Sejak saat itu, ia tak pernah pergi dari direktorat tersebut sampai akhirnya diangkat menjadi Dirjen Perundang-undangan pada 2010 hingga 2014. Baginya, ruang sidang MK bukan tempat yang asing karena ia sering mewakili pemerintah (dalam hal ini menteri Hukum dan HAM) dalam persidangan-persidangan di MK. Pada tahun 2013 ketika DPR membuka pendaftaran sebagai calon hakim konstitusi untuk menggantikan Akil Mochtar dan Harjono, ia mendaftarkan diri dan terpilih.
5. Maria Farida Indrati
Guru Besar Universitas Indonesia dalam ilmu perundang-undangan tersebut telah bergabung di MK sejak tahun 2008. Ia diusulkan oleh pemerintah baik untuk masa jabatannya yang pertama (2008-2013) maupun kedua (2013-2018). Ia adalah hakim konstitusi perempuan pertama dan satu-satunya dalam sejarah MK.
6. Anwar Usman
Anwar Usman menjadi hakim konstitusi sejak 6 April 2011 menggantikan Arsyad Sanusi yang mengundurkan diri. Hakim konstitusi yang berasal dari unsur Mahkamah Agung ini menghabiskan sebagian besar kariernya sebagai hakim karier dan beberapa kali menduduki jabatan struktural di lingkungan MA (1985-2011). Ia pernah menjadi asisten hakim agung, Kepala Biro Kepegawaian MA, hakim di PT DKI Jakarta, serta terakhir menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA.
7. Patrialis Akbar
Di antara sembilan hakim konstitusi yang ada di MK saat ini, penunjukkan Patrialis Akbar oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cukup membuat “heboh”. Bahkan, Keputusan Presiden Nomor 87/P Tahun 2013 tentang Pengangkatan Patrialis dan Maria Farida digugat di PTUN oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK. Gugatan itu berhasil, Keppres tersebut dibatalkan oleh PTUN, tetapi pembatalan itu dianulis oleh Pengadilan Tinggi TUN. Hingga saat ini, gugatan tersebut sebagai hakim MK masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung. Sebelum menjadi hakim konstitusi, Patrialis adalah politisi Partai Amanat Nasional yang pernah menjadi anggota DPR selama dua periode (1999-2004 dan 2004-2009). Ia kemudian ditunjuk sebagai Menteri Hukum dan HAM, terkena perombakan kabinet, kemudian menjadi Komisaris Utama PT Bukit Asam. Pada 13 Agustus 2013, ia mengucapkan sumpah jabatannya sebagai hakim konstitusi.
8. Aswanto
Sebelum menjabat sebagai hakim MK, Aswanto menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Selain berkecimpung di dunia akademik, Aswanto juga pernah terlibat sebagai penyelenggara pemilu dengan menjadi Ketua Panitia Pengawas Pemilu Provinsi Sulawesi Selatan (Pemilu 2004), pernah pula menjadi Dewan Kehormatan KPU Sulawesi Selatan (2007), serta Ketua Tim Seleksi rekrutmen Panwas Pemilihan Gubernus Sulses (2012). Pada tahun 2013, pasca MK diguncang skandal suap yang melibatkan ketuanya (Akil Mochtar), Aswanto dimintai Hamdan Zoelva untuk bergabung dalam Tim Seleksi Dewan Etik MK.
9. Muhammad Alim
Sebelum menjadi hakim konstitusi, Alim adalah hakim pada pengadilan umum yang merintis kariernya di Pengadilan Tinggi Ujung Pandang selama lima tahun dan diangkat menjadi hakim dengan wilayah penempatan di Pengadilan Negeri Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. Ia hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk menjalani panggilan tugas, mulai dari Poso, Wamena, Surabaya, Jambi, Jakarta, Kendari, hingga terakhir sebagai Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pada tahun 2008,Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan-ketika itu-mengusulkannya sebagai hakim konstitusi dan terus bekerja hingga saat ini. Oleh koleganya, seperti pernah diungkapkan mantan hakim MK Arsyad Sanusi dan Mahfud MD, Alim dikenal sebagai orang yang sangat lurus. Bahkan, dia dijuluki sebagai “adiknya malaikat”. (Tri Wahono)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News