kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Akademisi: Pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan


Selasa, 07 Mei 2019 / 14:22 WIB
Akademisi: Pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan


Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lemahnya penerapan Peraturan Daerah (perda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di kota Bogor dinilai wajar. Sebab penyusunan aturan tersebut mengabaikan sejumlah tahapan penting dan masukan para pemangku kepentingan sehingga sulit untuk diimplementasikan. 

Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto, mengaku dilematis karena aturan yang dibuatnya tentang KTR bahkan tidak dipatuhi para ASN. Padahal pada saat yang sama, terutama saat berjumpa pimpinan daerah lain, Bima selalu memamerkan kegagalan Perda KTR Bogor sebagai salah satu pencapaiannya walaupun produk hukum tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan Peraturan Nasional oleh Kementerian Dalam Negeri, karena melarang total kegiatan promosi diantaranya melalui pemajangan produk rokok di tempat penjualan. 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf mengungkapkan aturan seperti Perda KTR termasuk di kota Bogor merupakan kebijakan komensalis

”Dalam bahasa undang-undang, kebijakan komensalis itu adalah kebijakan yang tidak mengubah keadaan dan perilaku. Hanya mengatur hal-hal tertentu saja,” ucapnya, Rabu (7/5).

Maka Perda KTR yang sejatinya merupakan amanat Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 tahun 2012 itu bukan bersifat pelarangan merokok. Bukan pula pembatasan merokok. ”Nah, pengertian pembatasan itu artinya dibolehkan, sepanjang ditentukan dalam Perda,” terusnya. 

Asep menjabarkan, seseorang boleh merokok tetapi harus di kawasan tertentu. Kawasan yang sudah ditentukan. ”Harus dibuatkan smoking room-nya. Supaya tidak ada (perokok) di mana-mana. Keluar dari itu, tidak boleh dan harus ada sanksi,” tegasnya. 

Sanksi yang relevan terhadap hal itu adalah denda. Perlu digaris bawahi, Asep menambahkan, merokok bukan tindak pidana. ”Beda dengan miras (minuman keras), beda dengan narkoba, judi, prostitusi, itu semua pidana. Kalau Perda ini larangannya denda. Namanya sanksi administrasi,” dia memaparkan. 

Untuk sampai pada derajat maksimal penerapan Perda KTR, dibutuhkan tahapan-tahapan. Pertama sosialisasi. Kemudian, lanjut Asep, sosialisasi di internal aparat pemda atau Aparat Sipil Negara (ASN). 

Berikutnya hal sama dilakukan di ruangan publik dan sejenisnya. ”Jadi, kalau pertanyaannya kenapa (Perda KTR di kota Bogor) ini diabaikan, karena tahapannya dilewati. Sehingga langsung dikenakan itu. Sehingga orang bingung,” Asep menjelaskan. 

Hal tidak kalah penting terkait terbitnya Perda KTR, menurutnya adalah fasilitas. Ada tempat larangan berarti ada tempat yang diperbolehkan merokok. ”Ketika tidak ada itu, itu tidak akan efektif. Tapi, kalau ada tempat yang diperbolehkan merokok, pasti akan kena denda, jika di luarnya,” ulasnya. 

Berdasarkan Peraturan dan perundang- undangan yang berlaku para pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah daerah wajib memfasilitasi proses diskusi, dan penjaringan aspirasi. 

Pada tahapan tersebut, pemangku kepentingan yang akan terdampak sesungguhnya memberikan komitmen dan dukungan terhadap kebijakan tersebut agar saat disahkan implementasinya akan efektif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×