Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama menceritakan awal mula alasan mengapa ia tertarik masuk ke dunia politik.
Dahulu, Basuki mengaku sama sekali tidak tertarik terjun menjadi politisi. Sebab, ia tidak mampu menolong warga miskin, baik membantu pelayanan kesehatan maupun pendidikan.
"Dulu, saya pengecut. Untuk apa masuk politik?" kata Basuki dalam acara Reformis Hibrida Reformis Horizontal, di Jakarta Theatre, Sabtu (1/3/2014), kemarin.
Basuki mengakui sebagai seorang pengecut sebab ia lebih sering mendorong teman dan koleganya untuk terjun ke dunia politik. Sementara ia sendiri tidak berani menjadi politisi.
Saat itu, ia lebih senang menjadi seseorang di balik layar bak produser maupun sutradara. Pesimisme Basuki menjadi politisi juga disebabkan karena perbedaan suku, agama, dan ras dengan masyarakat Belitung Timur, kampung halamannya. Sebanyak 93 persen warga Belitung Timur beragama Muslim, sedangkan dirinya merupakan minoritas.
Basuki juga menjelaskan, di Belitung Timur, warga keturunan Tionghoa hanya berjumlah 6 persen dan yang beragama Protestan 0,8 persen. Desakan sang ayah, Indra Tjahaja Purnama lah yang memaksa dirinya untuk menjadi seorang pejabat daerah.
Pria yang akrab disapa Ahok tersebut kemudian memberanikan diri berlaga di pemilihan legislatif DPRD tingkat II Belitung Timur. Dengan satu tujuan, menyejahterakan masyarakat Belitung Timur.
Saat itu, mayoritas kursi DPRD adalah Partai Bulan Bintang (PBB) dengan 55 persen kursi. Secara logika, Basuki pesimistis dapat meraih kursi DPRD tingkat II. Ternyata, prediksinya meleset. Ia berhasil meraih kursi sebagai anggota legislatif.
Impiannya masuk ke dunia politik belum berakhir. Pun berusaha mewujudkan mimpinya menjadi Bupati Belitung Timur. Bahkan Basuki sama sekali tidak menggunakan jadwal kampanye untuk mempromosikan dirinya kepada warga Belitung Timur.
"Saya hanya menghabiskan Rp 500 juta untuk membayar saksi. Terpilihlah saya menjadi bupati warga mayoritas," kata Basuki.
Belajar dari Istiqlal
Anak muda terutama yang berasal dari kaum minoritas tak perlu lagi segan terjun ke dunia politik. Basuki memberi contoh satu peristiwa silam yang membuat kaum minoritas lebih dihargai, yakni pembangunan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat.
Menurut Basuki, jika warga masih menggunakan pemikiran lama, sang arsitek Frederich Silaban yang merupakan seorang minoritas, akan langsung didiskualifikasi dari daftar calon arsitek Masjid Istiqlal. Ternyata, dengan keahliannya, ia mampu membangun Masjid Istiqlal yang menjadi kebanggaan warga Indonesia.
Kendati sulit, Basuki mengatakan panggung politik tersedia bagi setiap individu tanpa batasan ras, suku, maupun agama.
"Yang penting teruji karakternya, seperti teori Abraham Lincoln. Jika ingin menguji karakter seseorang, berikan kekuasaan, apakah ditakdirkan untuk menjadi besar atau bubar," kata Basuki. (Kurnia Sari Aziza)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News